Gubernur BI: Indonesia Jauh dari Ancaman Resesi Ekonomi
Ancaman resesi ekonomi belakangan ini menghantui banyak negara di dunia. Salah satu negara yang telah masuk ke dalam jurang resesi adalah Turki.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, Indonesia saat ini jauh dari ancaman resesi. Resesi, menurut dia, terjadi jika ekonomi suatu negara mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut.
Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut dia, pada tahun ini diperkirakan berada di bawah batas tengah kisaran 5% - 5,4% atau di bawah 5,2%. Ia pun memperkirakan pada tahun depan, pertumbuhan ekonomi akan berada di bawah batas tengah kisaran 5% - 5,5%.
"Jadi (Indonesia) tidak termasuk definisi resesi. Jelas ya," ujar Perry dalam konferensi pers di Kantornya, Kamis (19/9).
(Baca: Inflasi dan Rupiah Stabil, BI Diprediksi Pangkas Lagi Bunga Acuan)
Perry mengaku tetap optimis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut meski kondisi ekonomi global tengah bergejolak antara lain akibat lonjakan harga minyak dunia.
Harga minyak memang sempat melejit 15% usai serangan drone ke kilang Aramco terjadi Sabtu (14/9) lalu. Namun harga mulai turun 6% pada Selasa (17/9) setelah menteri energi Arab Saudi mengatakan pasokan minyak telah diamankan.
Menurut Perry, kondisi tersebut bersifat nonfundamental atau temporer dan tak akan berpengaruh signifikan pada perekonomian Indonesia.
Ia juga memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) tak akan jatuh ke jurang resesi seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Menurut dia, perekonomian AS saat ini masih tumbuh, meski melambat sehingga tak masuk dalam kategori menuju resesi.
(Baca: BI Turunkan Uang Muka KPR untuk Rumah Kedua dan Seterusnya)
"Kami masih perkirakan pertumbuhan ekonomi AS tahun ini 2,3%, tahun depan sekitar 2%," kata dia.
Kendati demikian, BI memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam ini hanya akan tumbuh 2,1% pada tahun ini dan 2,2% pada tahun depan jika perang dagang terus berlanjut.
BI juga memperkirakan ekonomi global tahun ini tumbuh 3,1%, lebih rendah dari proyeksi awal sebesar 3,2%. Perry menjelaskan penurunan proyeksi tersebut lantaran perang dagang AS dan Tiongkok masih berlanjut.
"Kami akan terus melanjutkan bauran kebijakan akomodatif dengan memangkas suku bunga, perlonggar makropruden, sistem pembayaran dan operasi moneter," terang dia.