Kebebasan Berekspresi Disebut Mundur, Moeldoko: Demi Stabilitas
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko merespon tuduhan yang menyebut bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatasi kebebasan berekspresi. Menurutnya, kebebasan berekspresi dan stabilitas keamanan negara perlu dijaga keseimbangannya agar tidak mengganggu kehidupan bernegara.
"Sekali lagi bahwa pemerintah mengelola stabilitas keamanan dan demokrasi. Tuntutan demokrasi begitu luar biasa, apalagi dengan munculnya media informasi yang luar biasa juga pertumbuhannya," kata Moeldoko di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (18/10).
Ia menambahkan, pengelolaan stabilitas keamanan dan kebebasan berekspresi begitu sulit dilakukan. Penataan demokrasi agar dapat berjalan dengan baik memerlukan aturan-aturan. Apabila pemerintah salah dalam memberikan porsi akan menimbulkan berbagai risiko.
(Baca: Belum dapat Tawaran Menteri, Moeldoko Ingin Liburan ke Kampung Halaman)
Risiko-risiko tersebut terkadang tidak diperhatikan oleh sebagian masyarakat sehingga masyarakat menilai pemerintahan era Jokowi membendung kebebasan berekspresi yang telah diatur dalam undang-undang. Moeldoko menilai, pemerintah telah mengetahui situasi yang sebenarnya dan dapat menentukan sikap terbaik untuk menjaga stabilitas kemanan negara.
"Ketika kita tegakan stabilitas keamanan semuanya teriak, pemerintah tidak reformis dan seterusnya. Tapi kalau kita abai terhadap demokrasi maka kecenderungannya akan anarkis," ujarnya.
Sebelumnya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat kian menurun sejak awal kepemimpinan Jokowi pada 2014 silam. Elsam mengutip situs freedomhouse.org, Elsam menyatakan indeks kebebasan berpendapat Indonesia hampir lima tahun sudah tidak lagi dalam level bebas.
(Baca: Hari Terakhir Kerja, Para Menteri Perpisahan dengan Jokowi dan Media)
Dalam penjelasan di situs tersebut, kebebasan berekspresi Indonesia mundur pada 2014 terkait penerbitan UU Ormas pada medio 2013. UU itu dinilai mengekang kebebasan warga Indonesia. Terutama setelah serangkaian diskriminasi kepada kalangan penganut Ahmadiyah.
Hingga saat ini, menurut situs tersebut belum ada kemajuan dalam aspek kebebasan berpendapat. Elsam berpendapat ada andil pemerintahan Jokowi dalam kemunduran tersebut.
Salah satu yang disoroti adalah pasal karet yang semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis. UU ITE serta pasal makar dan pasal penodaan agama KUHP jadi regulasi paling sering mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
"Seolah-olah keras sekali zaman Pak Jokowi tapi sesungguhnya tidak karena kebutuhan yang mengangkat terus dengan sedikit mengabaikan stabilitas, begitu kita pelihara stabilitas langsung disebut otoriter. Saya betul-betul mengelola 2 sumbu itu dengan baik dan cermat," kata Moeldoko.
(Baca: Jokowi Bakal Kembali Bentuk KEIN pada Periode Kedua Pemerintahannya)