Hadapi Gejolak Global, BI Minta Pemerintah Gelontorkan Stimulus Fiskal
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun depan masih akan melambat akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Pemerintah diminta ikut menahan dampaknya dengan memberikan stimulus fiskal dan mendorong reformasi saktor riil.
"Bank sentral tidak bisa menjadi the only game in town. Perlu sinergi bauran kebijakan ekonomi nasional, baik melalui stimulus fiskal maupun reformasi ekonomi di sektor riil," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan BI 2019 di Jakarta, Kamis (28/11).
Perry menjelaskan, kebijakan moneter yang digelontorkan pihaknya belum tentu selalu efektif mengatasi dampak buruk perang dagang. Hal ini terlihat pada kebijakan yang dikeluarkan bank sentral negara-negara lain.
Ia mencontohkan, Bank Sentral Eropa telah menurunkan bunga hingga negatif dan menginjeksi likuiditas melalui ekspansi neraca. Hal serupa juga dilakukan oleh Bank Sentral Jepang yang melanjutkan kebijakan quantitative easing.
(Baca: Di Depan Jokowi, Gubernur BI Janji Ekonomi 2020 Terjaga)
Di sisi lain, Bank Sentral AS atau The Federal Reserve telah menurunkan suku bunga tiga kali sebesar 0,75% pada tahun ini, berbalik arah dari tahun lalu. Pada 2018, The Fed menaikkan bunga acuannya dalam rangka normalisasi kebijakan moneter seiring perekonomian yang membaik usai diterpa krisis 2008.
'Sayangnya penurunan suku bunga dan injeksi likuiditas di banyak negara belum mampu menyelamatkan ekonomi dunia," jelas dia.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan akan berkisar 3,1%, sedikit membaik dibanding proyeksi tahun ini sebesar 3%. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonsia diramal tumbuh di antara 5,1% hingga 5,5%, tak jauh berbeda dari proyeksi tahun ini sekitar 5,1%.
Menurut dia, bauran kebijakan makroekonomi dan sistem keuangan antara pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan perlu diperkuat untuk mendorong ekonomi mencapai target pertumbuhan. Apalagi, terdapat risiko volatilitas arus modal asing dan nilai tukar dapat menimbulkan kerentanan dan risiko terhadap kemungkinan krisis.
"Transformasi sektor ekonomi harus difokuskan pada sejumlah industri manufaktur, seperti otomotif, garmen, elektronik, dan makanan, pengembangan pariwisata dengan sepuluh Bali baru, maritim, pertanian, maupun UMKM," ucap dia.
(Baca: Jokowi Minta Proyek Pembangunan Prioritaskan Swasta, Bukan BUMN)
Pengembangan kawasan ekonomi dan klaster-klaster dinilai perlu difokuskan untuk sektor-sektor prioritas tersebut. Pemerintah dinilai perlu memperbaiki iklim investasi dengan mempercepat pemangkasan perizinan investasi dan implementasi fasilitas perpajakan. Hal ini diharapkan mampu mempercepat kenaikan penanaman modal asing di Indonesia.
Di sisi lain, ia menambahkan, ekspor perlu terus didorong dengan akselerasi hilirisasi. Ini penting untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing berbagai komoditas sumber daya alam melalui perdagangan internasional, baik bilateral, kawasan, ataupun pasar-pasar baru.
Sebelumnya, pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada pada kisaran 5,05%, meleset dari target APBN 2019 sebesar 5,3% sebagai dampak perlambatan global.
Tahun depan, pemerintah kembali menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam APBN mencapai 5,3%. Namun, sejumlah lembaga memproyeksi target tersebut akan kembali meleset seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.