Standard Chartered Bakal Setop Pinjaman ke Bisnis Batu Bara
Standard Chartered Bank PLC menyatakan bakal menyetop seluruh pinjaman maupun layanan keuangan lainnya pada perusahaan yang lebih dari 10% pendapatannya berasal dari bisnis batu bara pada 2030. Tahun lalu, bank asal Inggris ini telah menghentikan pinjaman baru untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU.
Group Chief Executive Bill Winters menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan komitmen perusahaan untuk menyelaraskan portofolio pinjaman dengan tujuan yang ditetapkan oleh perjanjian paris terkait pembatasan pemanasan global.
"Kami menjadi bank global pertama yang aktif di pasar negara berkembang yang mengkonfirmasi akan keluar dari batu bara pada 2030, menetapkan target untuk membantu klien kami bertransisi ke teknologi rendah karbon," ujar Bill dikutip dari keterangan resmi, Rabu (18/12).
(Baca: RI Konsultasikan Larangan Ekspor Nikel Usai Dilaporkan Eropa ke WTO)
Kendati demikian, menurut dia, kebijakan perusahaan yang ingin menyetop layanan keuangan kepada perusahaan yang memiliki bisnis batu bara akan mengubah pasar Standard Chartered Bank secara signifikan. Oleh karena itu, pihaknya akan mengimplementasikan keputusan ini secara bertahap mulai 1 Januari 2020.
Kebijakan pembatasan baru ini berlaku untuk semua produk dan layanan yang ditawarkan oleh grup. Ini juga merupakan pembatasan tambahan setelah sebelumnya perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk menyetop pinjaman langsung ke PLTU.
(Baca: Pertamina Lanjutkan Proyek Gasifikasi Batu Bara dengan PTBA)
Standard Chartered Bank sebelumnya diketahui turut terlibat dalam pembiayaan PLTU Riau-1. Proyek PLTU ini sempat menyeret mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basyir atas dugaan korupsi sebelum akhirnya divonis bebas awal bulan ini.
Sebagai informasi, Standard Chartered Bank saat ini juga tengah memproses penjualan sahamnya di Bank Permata sebesar 44,56% kepada Bangkok Bank.
Selain Standard Charterd, sejumlah bank multinasional telah mengeluarkan kebijakan untuk menyetop pinjaman pada proyek PLTU baru. Di Asia, beberapa di antaranya yakni DBS, OCBC, UOB, dan Mitsubishi UFJ.