KSSK: Stabilitas Sistem Keuangan dalam Status Waspada akibat Covid-19
Komite Stabilitas Sistem Keuangan terus mewaspadai stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi virus corona. Wabah mematikan ini berpotensi menganggu kondisi ekonomi dan sistem keuangan Tanah Air.
"Sampai saat ini, seperti tadi sudah dilaporkan KSSK bahwa sudah mulai ada stabilitas di sistem keuangan, namun kami tetap akan waspada," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video di Jakarta, Senin (11/5).
Sri Mulyani,menjelaskan Covid-29 menyebabkan kegentingan pasar pada Maret. Ini terlihat dari hampir semua indikator dalam KSSK.
Dengan situasi tersebut, pemerintah pun terpaksa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dalam menangkal dampak virus ini. "Pada bulan Maret sampai kuartal I, kondisi stabilitas sistem keuangan memang adalah sangat waspada," ujarnya.
Meski saat ini sudah terlihat perbaikan, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut virus ini masih akan tetap mengancam perekonomian. Apalagi, belum ada yang mengetahui seberapa lama penyebaran Covid-19 berlangsung.
"Jadi tingkat kewaspadaan dan atensi tinggi tetap dilakukan KSSK. Karena dampak Covid-19 terhadap perlambatan ekonomi dan kedalaman dari kontraksi ekonomi yang terjadi, masih belum bisa diestimasi secara akurat," kata dia.
(Baca: Sri Mulyani: Krisis Akibat Pandemi Corona Lebih Parah dari Krisis 2008)
Pandemi virus corona menganggu perekonomian dari dua sisi yakni sisi permintaan dan produksi. Dari sisi permintaan,Sri Mulyani menilai virus corona memberi dampak terhadap konsumsi, investasi, ekspor, dan impor. Tercatat, konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2020 hanya sebesar 2,84%. Sementara investasi 1,7%, ekspor -1,58% dan impor -2,19%.
Sementara dari sisi produksi, terjadi angguan di sektor perdagangan, manufaktur, logistik, dan lainnya. Pada kuartal I, sektor perdagangan hanya tumbuh 1,6%, melambat dari 5,21%, manufaktur 2,06% dari 3,85%, serta transportasi dan pergudangan hanya 1,27% dari 7,55%.
"Dengan gangguan di sisi demand dan supply, maka ini sebabkan suatu potensi gangguan ke ekonomi dan potensi gangguan sistem keuangan," ucap Sri Mulyani.
Di sektor keuangan, pandemi ini menyebabkan negara berkembang mengalami arus modal keluar yang sangat besar. Dalam periode Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 145,28 triliun
Angka arus modal keluar tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan periode krisis keuangan global tahun 2008 dan taper tantrum 2013 masing-masing Rp 69,9 triliun dan Rp 36 triliun.
Nilai tukar rupiah pun sempat mengalami eskalasi tekanan yang tinggi. Pada akhir Februari, nilai tukar masih berada di level Rp 14.318 per dolar Amerika Serikat. Memasuki pekan kedua Maret, melemah ke level Rp 14.778 per dolar AS dan berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 23 Maret di level Rp 16.575 per dolar AS atau melemah 15,8% dibandingkan akhir bulan sebelumnya.
Namun kini, kondisi rupiah perlahan mulai stabil dan berada di bawah level Rp 15 ribu per dolar AS.
(Baca: LPS Bantah Ada 8 Bank Berpotensi Gagal, Indikator Masih Normal)
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan sejak merebaknya Covid-19, pihaknya terus memperkuat seluruh instrumen bauran kebijakan yang dimiliki. Ini dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah, mengendalikan inflasi, mendukung stabilitas sistem keuangan, dan mencegah penurunan kegiatan ekonomi.
"Berbagai penguatan bauran kebijakan Bank Indonesia tersebut telah diumukan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) baik pada tanggal 19-20 Februari, 2 Maret, 18- 19 Maret, maupun 13-14 April 2020," jelas dia.
BI antara lain telah menurunkan suku bunga acuan, melonggarkan kebijakan makroprudensial, dan menginjeksi likuiditas perbankan melalui sejumlah kebijakan.
Sementara itu Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan kondisi stabilitas sektor jasa keuangan hingga April masih dalam kondisi terjaga meski terdapat tendensi pelemahan sektor riil dan potensi pelemahan sektor keuangan.. Rasio kecukupan modal atau CAR masih berada di level 21,72% meski turun dibandngkan akhir tahun lalu 23,31%.
Rasio kredit bermasalah atau NPL terjaga meski naik dari 2,53% menjadi 2,77%. Adapun rasio alat likuid terhadap DPK terjaga di kisaran 22,36 persen , naik dibandingkan Desember 2019 sebesar 20,86 persen dan masih berada di atas threshold.