Kematian George Floyd & Data Pembunuhan Kulit Hitam oleh Polisi di AS
Warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) bernama George Floyd yang sedang tak bersenjata meninggal di tangan polisi kulit putih Minneapolis bernama Derek Chauvin, Senin (25/5). Kejadian ini terungkap setelah video amatir detik-detik kematiannya tersebar ke publik pada Kamis (29/5) lalu.
Melansir AFP pada Kamis (29/5), kejadian ini bermula ketika Floyd diduga melakukan transaksi palsu senilai US$ 20. Chauvin bersama tiga polisi lain pun menangkapnya. Setelah tertangkap, Chauvin menginjakkan lututnya ke leher Floyd yang tak bersenjata hingga meninggal dunia.
Kejadian ini kemudian memancing solidaritas massa. Aksi protes terjadi di Minneapolis menuntut keadilan untuk Floyd. Melansir CNN pada Minggu (31/5), aksi menjalar ke 30 kota lain di AS, termasuk di Washington D.C. Ratusan massa berkumpul di depan gedung Departemen Kehakiman dan melakukan long march ke Gedung Putih sambil meneriakkan kalimat “aku tidak bisa bernafas” seperti yang dikatakan Floyd saat lehernya diinjak Chauvin menggunakan lutut.
Massa di depan Gedung Putih juga meneriakkan slogan “black lives matter” atau hidup orang kulit hitam bernilai, sebagai bentuk protes atas kekerasan yang menimpa warga kulit hitam di AS selama ini oleh polisi. Mereka menilai tindakan tersebut mencerminkan rasisme. Mereka juga menilai hukuman untuk polisi pembunuh warga kulit hitam kurang maksimal, seperti Chauvin yang menerima dakwaan pembunuhan tingkat dua dan pembunuhan tingkat tiga tapi masih bebas berkeliaran di Minneapolis.
(Baca: 25 Kota di AS Berlakukan Jam Malam Akibat Meluasnya Kerusuhan)
Kejadian serupa menimpa Floyd memang bukan sekali di AS. Melansir News One, media alternatif kulit hitam di AS, pada 6 Mei atau 19 hari sebelum kejadian Floyd, polisi di Indianapolis menembak warga kulit hitam bernama Sean Reed yang sedang tak bersenjata tanpa alasan jelas. Detik-detik kejadian ini bahkan tersiar secara langsung di Facebook dan polisi pelaku bercanda Reed akan membutuhkan pemakaman dengan peti mati tertutup.
Pada 18 April, dua polisi dari Kepolisian San Leandro membunuh pria kulit hitam penderita kelainan mental bernama Demarco Taylor. Kedua polisi itu menembak Taylor yang sedang mengamuk di depan Walmart, di California, karena dianggap akan merampok toko. Pengacara hak sipil yang membela kasus ini, Lee Merritt menilai kedua polisi tersebut telah menyalahi prosedur penggunaan tindakan tegas.
Lee menilai semestinya kedua polisi tersebut mengetahui Taylor menderita kelainan mental dan terlebih dulu menggunakan langkah persuasif. Bukti video saat kejadian, menurutnya, membuktikan kedua polisi mengabaikan prosedur tersebut dan langsung menembak Taylor.
Lalu, pada 23 November 2019, seorang pemuda kulit hitam bernama Ariane McCree ditembak mati dua polisi sektor Chester di South Carolina setelah ditahan karena diduga mengutil di Walmart. Polisi mengklaim pria berusia 28 tahun ini sempat melarikan diri setelah ditahan dan sempat menodongkan senjata ke petugas sehingga perlu ditembak.
Namun, keluarga McCree menyatakan keterangan tersebut salah dan menuntut balik kepolisian. Mereka menyatakan dari kesaksian di lokasi, tangan McCree sedang diborgol di belakang punggung ketika ditembak mati.
Secara keseluruhan, News One mencatat 80 kasus pembunuhan kulit hitam oleh polisi dengan malprosedur dari akhir 2019 sampai Mei 2020.
(Baca: Kematian George Floyd Berujung Kerusuhan di New York hingga Washington)
24% Korban Pembunuhan Polisi AS Pada 2019 Kulit Hitam
Sementara itu, situs mappingpoliceviolence.org yang khusus melakukan riset kekerasan oleh polisi di AS mencatat 1.099 orang seluruh ras terbunuh sepanjang 2019. 24 persen dari seluruh korban tersebut adalah kulit hitam.
Dari tabel harian menunjukkan hanya 27 hari sepanjang 2019 polisi tak membunuh orang. Rinciannya tiga hari pada Januari, sehari pada februari, tiga hari pada Maret, tiga hari pada April, tiga hari pada Mei, tiga hari pada Juni, tiga hari pada Juli, sehari pada Agustus, sehari pada September, dua hari pada Oktober, dua hari pada November, dan dua hari pada Desember.
Selain itu, dari total 7.666 korban sepanjang 2013-2019 sebanyak 17% adalah warga kulit hitam dalam kondisi tak bersenjata. Angka ini 1,3 kali lebih tinggi dari warga kulit putih yang terbunuh dalam kondisi tak bersenjata, yakni 12%.
Sepanjang 2013-2019 kasus pembunuhan kulit hitam oleh polisi di AS terbanyak tercatat pada 2015, yakni 305 orang. Dari angka tersebut, 104 di antaranya terbunuh dalam keadaan tidak bersenjata dengan rata-rata dua hari dalam sepekan.
Namun, dari seluruh kasus di 2015 hanya 13 kasus yang berujung pelakunya dijatuhi dakwaan kriminal. Rinciannya, empat kasus berakhir dengan pembatalan sidang atau dakwaan digugurkan, empat kasus lain masih menunggu persidangan sampai saat ini, dan lima kasus telah memutuskan terdakwa bersalah.
Meskipun begitu, tak ada satupun dari pelaku yang telah dinyatakan bersalah dijatuhi hukuman lebih dari empat tahun penjara. Bahkan satu pelaku belum dihukum sampai saat ini.
(Baca: Reporter CNN Ditangkap Saat Liputan Demonstrasi Kematian George Floyd)
26% Kasus Terjadi di Wilayah 100 Kota Terbesar di AS
Secara lokasi pembunuhan sepanjang 2013-2019, data mappingviolence.org menunjukkan 26% dilakukan Departemen Polisi di 100 kota terbesar di AS. 38% korbannya adalah warga kulit hitam. Angka ini sangat besar mengingat populasi kulit hitam hanya 21% dari seluruh populasi di 100 kota tersebut.
Dari total warga kulit hitam yang terbunuh di seluruh wilayah tersebut, 47% dalam kondisi tak bersenjata atau 4 kali lebih tinggi ketimbang korban warga kulit putih tak bersenjata.
Departemen Kepolisian St. Louis dan Oklahoma tercatat memiliki kasus tinggi di antara lainnya. Sepanjang 2013-2019 keduanya tercatat masing-masing membunuh 34 dan 25 pria kulit hitam. Untuk St. Louis angka itu berasio 7,0 per 100.000 populasi pria kulit hitam. Sementara Oklahoma berasio 8,5 per 100.000 populasi pria kulit hitam. Keduanya lebih tinggi dari rasio pembunuhan biasa di AS, yakni 5,0 per 100.000 populasi.
Temuan lain adalah, angka pembunuhan oleh polisi ini tak berbanding lurus dengan tingkat kejahatan yang terjadi di kota-kota itu. Misalnya, Departemen Kepolisian Buffalo yang memiliki tingkat kejahatan tinggi tapi hanya terjadi 3 kasus pembunuhan oleh polisi selama 2013-2019 dengan 1 korban pria kulit hitam.
Hal ini berbeda dengan Departemen Kepolisian Orlando yang tingkat kejahatannya rendah, tapi terdapat 18 kasus pembunuhan oleh polisi dalam rentang waktu sama. Sembilan dari seluruh korban adalah warga kulit hitam.
(Baca: Dituduh Dalang Kerusuhan dan Dicap Teroris oleh Trump, Apa itu Antifa?)
Respons Donald Trump
Merespons kasus Floyd dan aksi protes yang berubah menjadi kerusuhan, Presiden AS Donald Trump pada Kamis (29/5) lewat cuitan di akun Twitter pribadinya menyatakan akan menertibkan massa yang disebutnya sebagai “preman”.
“Apa pun kesulitannya dan kami akan mengambil kendali, tapi ketika penjarahan dimulai, penembakan (oleh aparat) juga akan dimulai,” cuitnya.
Selain itu, dalam Konferensi Pers di Kennedy Space Center pada Sabtu (30/5) lalu, Trump menyatakan kematian Floyd sebagai tragedi besar yang seharusnya tak perlu terjadi. Ia menilai kejadian ini membuat orang AS di seluruh wilayah negara ketakutan, marah, dan sedih.
“Kami akan berdiri dengan keluarga George Floyd, dengan para pemrotes yang damai, dan dengan setiap warga negara yang taat hukum yang menginginkan kebaikan, kesopanan, keselamatan, dan keamanan,” kata Trump, seperti dilansir CNBC.
(Baca: Mengenal George Floyd yang Kematiannya Memicu Unjuk Rasa Besar di AS)