Turis Asing Anjlok Saat Pandemi, Bisnis Pariwisata Rugi Rp 85 Triliun
Industri pariwisata nasional diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 85 triliun akibat pendemi virus corona. Hal ini terjadi seiring dengan jumlah kunjungan wisatawan asing ke destinasi wisata dalam negeri yang terus menurun.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mengatakan, okupansi perhotelan sangat minim. Pasalnya, ada sekitar 2.000 hotel dan 8.000 restoran di seluruh Indonesia menghentikan operasional bisnisnya akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Alhasil, kerugiannya untuk sektor perhotelan ditaksir mencapai Rp 30 triliun dan Rp 40 triliun untuk bisnis restoran pada Januari hingga April lalu. "Lalu ditambah kerugian untuk maskapai penerbangan US$ 812 juta atau setara Rp 11,4 triliun dan untuk tour operator Rp 4 triliun," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat virtual bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Selasa (24/7).
(Baca: Dampak Corona, Kunjungan Turis Asing ke RI pada Mei 2020 Anjlok 86% )
Menurut dia, berdasarkan data World Tourism Organization (WTO) tahun ini kunjungan wisatawan asing dapat terkontraksi hingga minus 44%. Sebab, ada lebih dari 500 juta wisatawan lebih memilih tidak berlibur ke luar negeri hingga situasi kesehatan kembali kondusif.
Adapun penurunan jumlah turis menurutnya juga tergambar pada jumlah penerbangan di kawasan Asia Pasifik yang minus 37% di periode April. Sedangkan untuk jumlah kunjungan turis domestik diperkirakan belum mampu menutup kekosongan yang ditinggalkan oleh turis asing.
"Pada 2018 jumlah turis domestik sekitar 303 juta orang, tapi di tahun 2019 turun menjadi 275 juta orang karena kendala harga tiket saat itu. Kemungkinan sekarang jauh drop lagi karena pandemi dan kesulitan dari segi regulasi apabila ingin naik pesawat," kata dia.
Dengan kondisi yang sangat sulit seperti sekarang, membuat 95% pengusaha hotel memilih untuk merumahkan karyawannya atau memberikan cuti tanpa digaji (unpaid leave). Pasalnya, stimulus yang diberikan pemerintah kepada pengusaha hotel dinilai tidak begitu efektif mengurangi beban biaya operasional yang sebagian besar berasal dari komponen gaji karyawan.
Contohnya, terkait stimulus pengurangan pajak penghasilan PPh 21. Sebab, pengurangan pajak ini akan efektif diterapkan bila karyawannya mendapatakan gaji sebesar Rp 16,67 juta, sedangkan saat ini sebagian pekerja justru dirumahkan.
"Yang menarik adalah PPh 25 ini untuk sektor pariwisata yang mayoritas 90% pasti bukunya mencatat kerugian jadi mestinya tidak bayar PPh 25 karena rugi," kata dia.
Untuk memulihkan sektor pariwisata, khususnya perhotelan dan restoran Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sebelumnya telah memperkirakan butuh waktu paling cepat setahun setelah wabah mampu dikendalikan.
(Baca: Okupansi Rendah, Pengusaha Hotel Menjerit Biaya Protokol Kesehatan)
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan upaya pemerintah menerapkan kebiasaan baru atau new normal pun tak serta merta meningkatkan kunjungan wisata. "Saya perkirakakan butuh satu tahun untuk pemulihan karena saat ini tidak ada yang mau datang ke hotel baik itu turis asing dan domestik saja sudah tidak mau," kata Shinta dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (8/6).
Shinta mengatakan untuk menyelamatkan bisnis semua pengusaha harus bersiap-siap menghadapi berbagai macam perubahan yang bakal terjadi setelah pandemi. Perubahan tersebut di antaranya yakni fleksibilitas dalam berinovasi, stabilitas dalam menjaga perilaku pasar dan komunikasi kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kepercayaan.
Upaya itu harus segera diterapkan pengusaha untuk menjaga kelangsungan bisnis. "Peningkatan persaingan usaha harus dilakukan baik itu perdagangan maupun investasi antarnegara dan ini kita bersaing dengan negara lain jadi semakin ketat dan bagaimana kita bisa bersaing dengan lebih kompetitif lagi," kata dia.