KPK Temukan Empat Masalah Impor BBM
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti empat hal yang menjadi permasalahan dalam prosedur impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Salah satunya adalah kebijakan pencampuran minyak sawit (Fatty Acid Methyl Esters/FAME) ke BBM jenis Solar sebesar 20% atau Program B20, dan bioetanol 2%.
KPK melihat selama ini, dalam mengimpor Solar, volume maksimum kuota dihitung berdasarkan perhitungan atas FAME yang disediakan. Dalam hal ini 20% FAME dan 80% minyak Solar murni.
Menurut KPK sistem ini tidak efektif karena ada permintaan dispensasi dari industri dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). “Ada peluang jual beli kontrak FAME,” dikutip dari akun resmi Instagram KPK, Rabu (14/11).
Sementara itu, bioethanol 2% belum dapat dilaksanakan karena ketersediaan belum didukung dari dalam negeri. Untuk itu, KPK merekomendasikan agar Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan revisi kebijakan implementasi FAME 20% dan Bioetanol 2% dengan melakukan kajian kesiapan industri hilir.
Permasalahan lain yang menjadi temuan KPK adalah mengenai pelaksanaan survei dalam proses impor BBM. Survei oleh Kementerian Perdagangan menimbulkan pengulangan proses pemeriksanaan BBM. Surveyor dari Kementerian Perdagangan umumnya tidak ke lapangan, melainkan menerima laporan dari surveyor luar negeri yang ditunjuk.
Proses pemilihan surveyor dan laporan survei Kementerian Perdagangan dinilai kurang transparan. Padahal, kegiatan survei dibebankan ke negara dan diatur Peraturan Menteri Perdagagan Nomor 3 Tahun 2015, khususnya pada pasal 23 ayat 3. Alhasil, KPK meminta Kementerian Perdagangan merevisi aturan tersebut.
Temuan ketiga dari KPK adalah tidak adanya mekanisme cadangan ketika server mengalami gangguan. Jadi, KPK meminta Kementerian Perdagangan mengoptimalkan mekanisme cadangan sistem daring ketika server mengalami gangguan.
(Baca: Impor Minyak Mentah Berpotensi Turun Lebih Dari 50%)
Keempat, adalah lamanya waktu pengurusan izin impor yang membutuhkan kurang lebih 100 hari kerja. Jadi, KPK merekomendasikan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menyelesaikan sistem perizinan online dan mempercepat durasi penerbitan rekomendasi izin menjadi 15 hari kerja. Selain itu, Direktorat Jenderal Bea Cukai mengimplementasikan sistem daring secara konsisten di seluruh kantor cabang di Indonesia.