Skema Gross Split Masuk RUU Migas
Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Salah satu yang disepakati adalah penerapan skema kontrak kerja sama gross split. Padahal draf awal yang diajukan Komisi VII DPR, tidak ada skema tanpa cost recovery (pengembalian biaya operasional) itu.
Menurut Wakil Ketua Baleg DPR Totok Daryanto, skema itu dimasukkan agar ada pilihan bagi pemerintah menerapkan bentuk kontrak, selain yang menggunakan cost recovery. "Keduanya diakomodir dalam Undang-undang agar dapat menentukan pilihan yang terbaik untuk kepentingan negara," ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu (12/9).
Dalam RUU Migas, pembahasan kontrak kerja sama tertuang dalam pasal 13. Pasal itu menyebutkan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas sebagai pemegang kuasa usaha pertambangan baik secara mandiri atau melalui kontrak kerja sama.
Bentuk kontraknya terbagi dalam tiga bentuk, yakni pembagian hasil berdasarkan produksi bruto (gross split), kontrak bagi hasil produksi (PSC) cost recovery, atau bentuk lain. Kontrak yang akan dipilih nantinya harus menguntungkan negara.
Ini berbeda dengan pasal 13 yang diajukan komisi VII DPR. Dalam proposal itu, bentuk kontrak kerja sama hanya berbentuk kontrak bagi hasil produksi atau kontrak lain yang lebih menguntungkan negara.
Ada empat persyaratan dalam skema kontrak itu. Pertama, kepemilikan sumber daya alam sampai pada titik penyerahan tetap di tangan negara yang dikelola oleh pemerintah pusat dikuasakan pengusahaannya pada pemegang kuasa usaha pertambangan, dalam hal ini BUK Migas.
Kedua, dalam hal kontrak kerja sama berbentuk PSC cost recovery, maka pengendalian manajemen operasi kegiatan usaha hulu tetap berada pada pemegang kuasa pertambangan, dalam hal ini pemerintah pusat. Pengendalian manajemen operasi itu terdiri dari pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut.
Ketiga, adanya evaluasi kontrak kerja sama untuk menjaga agar negara tetap diuntungkan, ini apabila terjadi perubahan harga migas di pasaran dunia. Keempat, jika pejabat BUK Migas membuat kontrak kerja sama yang tidak menguntungkan negara, maka kontrak dapat ditinjau kembali.
Selain itu, RUU Migas yang disepakati Baleg DPR itu mengubah status BUK Migas. Dalam draf terbaru, BUK Migas yang tertuang dalam Pasal 1, pasal 43 sampai 47 disinkronkan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang badan usaha milik negara (BUMN).
Status dan organisasi, misalnya, akan mengikuti ketentuan BUMN. Namun kekhususan BUK Migas yang tidak bertentangan dengan UU BUMN tetap dipertahankan seperti penetuan direktur utama yang perlu konsultasi dengan DPR.
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, awalnya badan usaha khusus migas berada di bawah Presiden. Akan tetapi, setelah harmonisasi pada rapat panitia kerja, mereka menetapkan posisinya mengikuti UU BUMN. Adapun terkait perusahaan yang akan menjadi BUK Migas, Supratman menyerahkannya kepada pemerintah, apakah Pertamina atau lembaga BUMN baru.
Terkait keberadaan SKK Migas, Totok mengatakan lembaga tersebut akan dibubarkan seiring terbitnya UU Migas. Fungsi SKK Migas lalu melekat pada BUK Migas yang akan berkontrak dengan investor dalam hal ini Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). “Karena masih ada cost recovery,” kata dia.
(Baca: Gross Split Dinilai Tak Signifikan Dongkrak Daya Saing Investasi Migas)
Badan Musyawarah akan membahas draf RUU Migas ini, lalu berlanjut ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai inisiatif DPR. Menurut Totok, UU Migas bisa cepat diterbitkan asalkan pemerintah sepakat dengan inisiasi tersebut.