Naik 26%, Cost Recovery 2018 Dipatok Hingga US$ 13,3 Miliar
Pemerintah mematok alokasi penggantian biaya operasi (cost recovery) kontraktor minyak dan gas bumi tahun depan sekitar US$ 11,39 miliar hingga US$ 13,28 miliar. Angka tersebut meningkat maksimal 26,6% dari target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang hanya US$ 10,49 miliar.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Parulian Sihotang mengatakan angka tersebut sesuai dengan surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Menteri Keuangan pada 14 Februari 2017 lalu.
"Istilah surat Pak Menteri ESDM, US$ 13,28 miliar itu 'business as usual'," kata dia kepada Katadata, Kamis (24/8). (Baca: SKK Migas: Cost Recovery Meningkat 20% Sebulan Terakhir)
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabowo Taher mengatakan kenaikan cost recovery tahun depan tersebut masih belum bisa dipastikan. Sebab harus menyesuaikan dengan hasil pembahasan proram kerja dan anggaran kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Adapun pembahasannya dimulai sekitar Oktober hingga Desember tahun ini.
Menurut Wisnu ada beberapa penyebab alokasi cost recovery pada 2018 lebih tinggi dari tahun ini. Salah satunya karena ada potensi kenaikan beban biaya depresiasi untuk proyek-proyek yang beroperasi di tahun 2017-2018.
Beberapa proyek tersebut yakni Jangkrik di Muara Bakau, Blok A di Aceh, dan Blok ONWJ. "Ada potensi kenaikan beban biaya depresiasi, untuk pengembalian biaya pengembangan proyek-proyek baru yang onstream di 2017-2018," kata Wisnu.
Adapun angka cost recovery pada APBN-P 2017 sudah diputuskan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada bulan lalu di angka US$ 10,7 miliar. Penentuan cost recovery ini juga mempertimbangkan penerimanaan negara.
Apalagi target penerimaan negara dalam APBNP 2017 juga naik dibandingkan APBN 2017 yang hanya Rp 105 triliun. "Untuk menjaga penerimaan negara Rp 118 triliun," kata Parulian.
Parulian mengatakan ada beberapa upaya yang dilakukan SKK Migas agar cost recovery hingga akhir tahun ini tidak bengkak melebihi target yang telah ditentukan. Di antaranya adalah efisiensi biaya pengadaan barang dan jasa, melakukan pengadaan secara bersama, dan penerapan biaya standard per unit yang lebih efisien.
Langkah lainnya adalah menganalisis biaya yang diajukan kontraktor dalam rencana kerja dan anggaran yang direvisi, efisiensi perjalanan dinas, meminimalisir rapat-rapat di luar kota dan di luar kantor. Ada juga dengan mengoreksi cost recovery dari auditor eksternal.
Di sisi lain pada RAPBN 2018, produksi siap jual (lifting) migas ditetapkan sebesar 2.000 ribu barel setara minyak per hari (bsmph). Target itu naik dibandingkan target pada APBN-P tahun ini yang hanya 1.965 ribu bsmph.
(Baca: Target Lifting Minyak Bumi Tahun Depan Semakin Rendah)
Jika dirinci, lifting minyak tahun depan sebesar 800 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dibandingkan target pada APBN-P 2017 sebesar 815 ribu bph. Sementara untuk lifting gas tahun depan sebesar 1.200 bsmph, meningkat dibandingkan target APBN-P 2017 tahun ini sebesar 1.150 ribu bsmph.