BPH Migas Minta Pemanfaatan LNG Bontang untuk Cadangan Gas Nasional
Kontrak gas alam cair atau LNG Bontang akan berakhir tahun ini. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas meminta agar pemanfaat gas tersebut dapat dioptimalkan untuk pasar domestik.
Pemanfaatannya termasuk pengembangan hilirisasi dan sebagai bahan bakar cadangan gas nasional. “Informasi bahwa kontrak LNG dengan Jepang tidak diperpanjang, saya senang sekali. Mari memanfaatkannya untuk dalam negeri,” kata Komite BPH Migas Hari Pratoyo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Seasa (15/9).
Konsorsium pembeli LNG Bontang asal Jepang, yang kerap disebut Western Buyer Extention (WBX), dikabarkan tidak akan memperpanjang kontrak yang sudah terjalin hampir 50 tahun. Hanya Kyushu Electric Power Co menjadi satu-satunya perusahaan dari konsorsium itu yang masih akan membeli tiga kargo LNG hingga 2022.
Hari mengatakan untuk memanfaatkan gas tersebut butuh realisasi pengembangan infrastruktur gas. BPH Migas berkeinginan untuk melakukan hal itu, termasuk membangun terminal LNG dan melakukan pemerataan pengembangan jaringan gas bumi atau jargas di Indonesia.
Sebagai contoh, untuk pemanfaatan LNG di dalam negeri, setidaknya membutuhkan terminal di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. "Ini harus ada agar multiplier effect-nya langsung terasa," kata dia.
Jepang, sebagai negara yang tidak memiliki sumber energi fosil, telah lama memanfaatkan gas sebagai cadangan nasionalnya. Bahkan, hampir separuh cadangan bahan bakarnya berupa gas yang tersimpan di bunker maupun terminal LNG.
Indonesia yang memiliki potensi gas sangat besar justru selama ini memilih menjualnya ke luar negeri. “Mari kembangkan bersama sehingga bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya,” ucap Hari.
Hasil produksi LNG di Indonesia sebagian besar diekspor ke sejumlah negara. Hanya sekitar 17% yang digunakan di dalam negeri. Tiongkok menjadi negara tujuan utama dari ekspor tersebut pada 2018, dengan volume sebesar 268,6 juta British Termal Unit (MMBTU).
Jepang dan Korea Selatan menduduki posisi berikutnya, masing-masing sebanyak 201,5 juta MMBTU dan 140,6 juta MMBTU. Selanjutnya, Taiwan (48,2 juta MMBTU) dan Thailand (17,2 juta MMBTU) masih termasuk lima besar negara tujuan utama ekspor LNG, seperti terlihat dari grafik Databoks berikut ini.
Masih Ada Pembeli untuk LNG Bontang
SKK Migas memastikan gas alam cair dari Kilang Bontang masih memiliki pasar, meskipun ditinggalkan WBX pada tahun ini. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan Shell sudah menandatangani persetujuan membeli 25 kargo hingga 2025. Lalu, sebanyak 13 kargo LNG lainnya pada tahun ini disalurkan ke PT Nusantara Regas, anak perusahaan Pertamina.
WBX memilih memutuskan kontrak, menurut dia, karena konsorsium sudah menanamkan banyak komitmen di proyek minyak dan gas (migas) lainnya. “Karena kebutuhannya terpenuhi, mereka melepas beberapa kontrak. Salah satunya di Bontang,” ujar Susana pada pekan lalu.
Ia mengatakan kilang yang sudah beroperasi hampir 50 tahun tersebut sudah mengalami penurunan produksi. Pemerintah dalam jangka menengah berencana lebih fokus menetapkan pasar potensial ketimbang mencari pengganti WBX. “Produksi Bontang tidak akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini ada penurunan jadi kami lebih hati-hati,” ujar Susana.
Indonesia saat ini memiliki tiga kilang LNG. Rinciannya, kilang pola hulu terdapat di Bontang, Kalimantan Timur dan Tangguh, Papua Barat. Kemudian, kilang pola hilir berada di Donggi Senoro, Sulawesi Tengah.
Kilang Bontang (PT Badak) dan Tangguh (BP) masing-masing memproduksi sekitar delapan juta metrik ton LNG. Sedangkan, kilang Donggi Senoro milik PT DSLNG hanya memproduksi 2,3 juta metrik ton. Sebelumnya, terdapat satu kilang LNG di Aceh, yakni Arun, tetapi sudah tidak beroperasi sejak 2014.