Perlu Terobosan Bangun Infrastruktur Gas untuk Capai Target Tahun 2030
Target produksi gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030 akan sulit tercapai tanpa infrastruktur yang memadai. Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia atau IATMI mendorong pemerintah mengeluarkan terobosan untuk menangani hal tersebut.
Sekretaris Jenderal IATMI Hadi Ismoyo mengatakan tantangan mengembangkan gas bumi saat ini bukan lagi persoalan cadangan. Indonesia memiliki sumber gas yang melimpah.
Tantangannya justru berkaitan dengan pasar. Pengembangannya dapat berjalan dengan baik, asalkan pembangunan infrastrukturnya digenjot secara merata.
Lalu, pemerintah juga perlu memperbanyak pedagang atau trader gas domestik untuk memasarkannya. “Nah, ini pekerjaan rumahnya. Bagaimana kita bisa ngomongin pengiriman gas dari Lapangan Tangguh dan Bontang ke Jawa, tapi pipanya tidak ada,” ujar Hadi dalam diskusi virtual, Jumat (20/11).
Ia pun menyorot sikap pemerintah yang kurang adil dalam memperlakukan infrastruktur gas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diberi keleluasan membangun jalan tol dengan masif. Namun, hal serupa tidak terjadi untuk distribusi gas.
Padahal, infrastruktur bahan bakar itu dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara merata. Pemerintah selama ini terlena dengan bahan bakar minyak atau BBM sehingga lupa dengan potensi sektor gas. “Tugas kita semua dan pemerintah membuat pasar agar hulu (gas) juga tumbuh," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong berpendapat target 12 miliar standar kaki kubik per hari yang dipatok pemerintah tidak berdasarkan kondisi permintaan saat ini. Seharusnya, pemerintah membangun infrastrukturnya terlebih dulu.
Kurangnya akses distribusi itu kerap menjadi persoalan dan kontraktor menjadi sulit mengembangkan lapangan gas. "Investor siap bantu asalkan persyaratan tadi terpenuhi, yaitu keekonomian dan infrastruktur. Kalau semua dipenuhi, tidak perlu teriak-teriak, semua bergerak sendiri," ujar Marjolin.
Blok East Natuna Mangkrak, RI Krisis Gas
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyebut cadangan gas Indonesia terus berkurang. Jumlahnya saat ini hanya 43,6 triliun kaki kubik (TCF).
Pengurangan ini terjadi karena pemerintah memutuskan mengeluarkan cadangan gas Blok East Natuna yang potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik. Langkah ini terpaksa dilakukan karena, sesuai kesepakatan internasional, blok migas dapat masuk hitungan cadangan kalau sumber energinya terbukti dan sudah ada proyeknya.
Sampai sekarang pengembangan Blok East Natuna masih mangkrak. “Dia masih dalam kategori contingent resources. Jadi, belum ada proyek, belum ada buyer,” kata Tutuka pada Senin lalu.
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menjelaskan sejak 2018, potensi cadangan dari blok tersebut keluar dari cadangan gas nasional. Bukan karena jumlahnya habis tapi proses pengembangan East Natuna masih terganjal keekonomian yang tinggi.
Bertahun-tahun, blok itu tak kunjung dikembangkan. Pemerintah akhirnya realistis dan hanya menghitung cadangan yang dapat diproduksi. “Dikeluarkan bukan berarti gasnya sudah tidak ada,” katanya kepada Katadata.co.id.
SKK Migas telah mengupayakan agar ada investor yang mau menggarap blok gas itu bersama Pertamina. Namun, hingga kini belum ada perusahaan yang tertarik. Skenario pengembangan dan insentif pun telah pemerintah sodorkan.
Sejak ditemukan pada 1973 oleh Agip, blok ini punya dua masalah. Pertama, lokasinya berada di laut dalam. Kedua, kandungan karbondioksida yang mencapai 70% sehingga membutuhkan teknologi mahal untuk memisahkannya dengan gas bumi.
Pengelola blok migas yang dulu bernama Natuna D-Aplha itu adalah Pertamina. Awalnya, hak kelolanya dipegang oleh Pertamina, ExxonMobil, dan PTT Exploration and Production. Namun, dua perusahaan terakhir memutuskan mundur dari konsorsium.