Aspermigas Dukung Subjek Penerima Gas Murah Ditambah, Ini Alasannya
Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) mendukung pelaku usaha yang mengusulkan adanya penambahan subjek cakupan industri yang berhak memperoleh harga gas bumi tertentu (HGBT) senilai US$ 6 per juta British thermal unit (MMBTU). Pasalnya, perluasan tersebut bisa mendorong peningkatan produktivitas pada sektor industri.
Direktur Eksekutif Aspermigas, Moshe Rizal menjelaskan, perluasan tersebut tak akan berdampak pada pergerakan pendapatan perusahaan Migas, karena selisih antara harga jual asli dan HGBT menjadi kewajiban pemerintah. Adapun harga jual asli atau harga jual mulut sumur gas bumi berada di angka US$ 8 per MMBTU.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, terdapat tujuh industri yang mendapatkan harga gas US$ 6 per MMBTU seperti industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
"Kalau memang pemerintah mau memperluas boleh saja, yang membayar selisih ini kan pemerintah bukan perusahaan Migas maupun KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama)," kata Moshe saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (26/10).
Moshe menjelaskan, selisih harga tersebut akan diganti lewat mekanisme pengurangan bagi hasil produksi migas antara KKKS dengan pemerintah, baik menggunakan mekanisme Cost recovery atau gross split.
Cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan kontraktor untuk memproduksi migas dan harus diganti oleh negara. Sedangkan bila menggunakan gross split, misalkan bagi hasil antara negara dan kontraktor 50:50, maka bagian kontraktor adalah 50%dari hasil produksi tanpa ada tambahan dari cost recovery.
"Selisih harga akan ditanggung pemerintah dengan mengurangi bagian pemerintah. Intinya, KKKS tetap memperoleh pendapatan yang sama walaupun harga jual ke industri diturunkan. Kepentingan pemerintah tidak ada hubungannya dengan perusahaan migas," ujar Moshe.
Sebelumnya, Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) meminta pemerintah meluaskan cakupan industri yang berhak memperoleh harga gas bumi tertentu atau HGBT senilai US$ 6 per juta British thermal unit (MMBTU). Ketua Umum FIPGB, Yustinus Harsono Gunawan, mengatakan langkah ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas industri manufaktur.
Sejumlah pabrikan yang bergerak di luar sektor peneriman HGBT seperti industri kimia, industri makanan dan minuman telah bertemu dengan FIPGB. Mereka berharap permintaannya dilanjutkan pada Kementerian ESDM.
"Selain ada permintaan tambahan dari beberapa perusahaan kimia, industri makanan dan minuman juga sangat mengusulkan, sektor makanan dan minuman itu potensinya sangat besar," kata Yustinus.
Dia menilai sebagai salah satu tulang punggung nasional, industri manufaktur perlu mendapat dukungan lebih lanjut dari pemerintah, salah satunya melalui sokongan suplai gas murah.
"Semua industri sudah mengajukan, tapi tinggal bagaimana ini kemampuan celengan pemerintah mudah-mudahan negara dapat windfall revenue sehingga hasilnya bisa dibagi selain untuk subsidi kepentingan publik, juga ke industri manufaktur," ujar Yustinus.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat hasil positif dari pemberlakukan harga gas bumi tertentu atau HGBT senilai US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri. Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Kimia Hulu Kemenperin, Tri Ligayanti, menyampaikan, kebijakan tersebut menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 7,9 triliun per tahun.
Mengutip laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Tri menjelaskan bahwa besaran nominal pendapatan negara itu diperoleh dari selisih manfaat pendapatan pajak senilai Rp 23,10 triliun dengan biaya fiskal insentif HGBT sejumlah Rp 15,2 triliun.
Dengan asumsi pendapatan negara dikorbankan adalah US$ 3 per MMBTU, diperkirakan total biaya fiskal yang ditanggung negara adalah Rp 15,2 triliun,Sehingga manfaat bersih yang diterima negara yakni Rp 7,9 triliun per tahun," kata Tri.