Bos PLN: Kelebihan Listrik Karena Perhitungan Pemerintah Meleset
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menjelaskan kondisi kelebihan listrik atau oversupply yang dialami perseroan. Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh melesetnya perhitungan asumsi pertumbuhan ekonomi dengan permintaan listrik.
Hitung-hitungan itu berawal pada 2015 ketika pemerintah menetapkan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) untuk mengakomodir proyeksi pertumbuhan permintaan listrik hingga 7-8% per tahun dari asumsi pertumbuhan ekonomi 6,1%.
“Ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan permintaan. Data saat itu 1% pertumbuhan ekonomi menyebabkan permintaan listrik naik 1,3%,” kata Darmawan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Rabu (8/2).
Adapun penambahan kapasitas pembangkit listrik 35 ribu MW ditujukan untuk memenuhi asumsi permintaan listrik 380 terawatt jam (TWh). Namun sejauh ini tingkat konsumsi listrik tertahan di 280 TWh. “Jadi ada 100 TWh di bawah dari yang direncanakan,” ujar Darmawan.
Lebih lanjut tingkat pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir terus bergerak fluktuatif di rerata 5,1% atau meleset dari asumsi awal 6,1% per tahun. Pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir yang berbasis pada e-commerce dan pariwisata juga dinilai tak sejalan dengan asumsi tingkat serapan listrik.
Alhasil, korelasi antara perhitungan pertumbuhan ekonomi 1% pada naiknya permintaan listrik 1,3% terkoreksi menjadi 0,86%. Kondisi ini diperparah dengan situasi ekomoni republik saat krisis Pandemi Covid-19 yang berdampak pada serapan listrik turun signifikan.
Sementara dalam lingkup mikro, asumsi pertumbuhan permintaan listrik di Jawa sekira 8% per tahun ikut terjun ke kisaran 4,6% pada periode 2015 hingga 2019.
“Artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi basisnya industri maka korelasinya naik lagi,” ujar Darmawan.
Meski serapan listrik domestik saat ini belum optimal, program pengadaan listrik 35 ribu MW terus berjalan sehingga menimbulkan kondisi oversupply listrik yang berlangsung hingga saat ini. “Proyek itu sudah ditenderkan semua,” kata Darmawan.
Kendati demikian, PLN tengah berupaya untuk mengurangi suplai listrik dari proyek pengadaan listrik 35 ribu MW dengan mengundurkan jangka waktu hingga membatalkan kontrak pembangunan pembangkit listrik. “Kami sebut sebagai renegosiasi, sehingga kami berhasil mengurangi beban take or pay sekitar Rp 40 triliun,” ujar Darmawan.
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan oversupply listrik domestik berpotensi terus membengkak seiring masuknya pasokan dari energi baru dan terbarukan (EBT). Di sisi lain, pertumbuhan permintaan listrik hanya mencapai 5-6% setiap tahun.
Kondisi ini menimbulkan beban bagi keuangan negara karena pemerintah tetap menanggung oversupply tersebut. "Karena memang take or pay, ya harus bayar, setiap 1 gigawatt itu Rp 3 triliun meskipun dia nggak bisa diapa-apain," kata Said dalam rapat panja RAPBN 2023, Senin (12/9/2022).