Pemerintah Jajaki 12 Perusahaan di Proyek Gasifikasi Batu Bara
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mewakili pemerintah, terus mencari mitra bagi PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina untuk bekerja sama dalam proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Upaya ini menyusul mundurnya Air Products and Chemicals Inc atau APCI dari proyek patungan senilai Rp 34,04 triliun tersebut.
Wakil Menteri BUMN, Pahala Nugraha Mansury menyampaikan, pihaknya berencana untuk kembali menjajaki peluang kerja sama dengan 12 perusahaan pengolah batu bara yang pernah menyepakati nota kesepahaman dengan PT Pertamina untuk pengerjaan proyek DME.
Upaya tersebut dilakukan untuk menjamin keberlangsungan proyek agar bisa beroperasi komersial atau Commercial Operation Date (COD) pada akhir 2027.
"Sebelumnya, Pertamina sudah memiliki MoU dengan 12 pihak. Mereka ini akan kami jajaki kembali soal apakah dari yang sudah menandatangai Mou tersebut masih ada minat atau tidak," kata Pahala saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR Senayan Jakarta pada Senin (20/3).
Pahala menyampaikan, sejauh ini belum ada pihak yang cukup serius untuk menggantikan Air Products di proyek gasifikasi batu bara yang berlokasi di Muara Enim, Sumatera Selatan itu.
"Sampai dengan saat ini belum. Tapi kami akan tetap lakukan hilirisasi batu bara ke DME," ujar Pahala.
Pemerintah menargetkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME tersebut sanggup menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dari batu bara berkalori 4.200 sebanyak 6 juta ton. Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi metanol 2,1 juta ton per tahun dan Syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.
Gas sintetis adalah campuran bahan bakar gas yang terdiri dari hidrogen, karbon monoksida, dan karbon dioksida. Gas alam sintetis ini umumnya digunakan untuk memproduksi amonia atau metanol yang dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kimia seperti pupuk dan petrokimia, listrik dan gas kota. Proyek tersebut berpotensi menghadirkan benefit dari produk DME yang dapat menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun serta menambah investasi asing US$ 2,1 miliar.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari dua proyek hilirisasi batu bara bersama PT Bukit Asam dan PT Kaltim Prima Coal lantaran perubahan arah bisnis perusahaan menjadi pengembangan hidrogen di negara asalnya, Amerika Serikat (AS).
Manuver Air Products juga dilatarbelakangi oleh kebijakan Pemerintah AS yang mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) lewat pemberian subsidi kepada proyek yang dikerjakan, khusunya pada pengembangan hidrogen.
"Karena AS sedang mendorong untuk pemakaian hidrogen, mereka merasa di AS lebih menarik bisnisnya. Di AS ada subsidi untuk EBT, ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (17/3).
Hal tersebut diatur di dalam Inflation Reduction Act (IRA) atau Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang terbit pada Agustus 2022. Melalui IRA, pemerintah AS menggelontorkan US$ 369 miliar untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menekan dampak perubahan iklim. IRA juga mengatur kemudahan kredit investasi untuk pengembangan proyek dan teknologi penyimpanan hidrogen.
"Hal itu yang menyebabkan investor banyak lari ke AS," ujar Arifin.