Masa Depan Industri Batu Bara Dinilai Masih Cerah dengan Hilirisasi
Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menilai masa depan industri batu bara masih cerah meski pemerintah berencana menutup operasi seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2050.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan permintaan terhadap batu bara akan terus ada dalam jangka panjang walaupun pada 2050 seluruh PLTU berhenti beroperasi. Menurutnya batu bara tetap dibutuhkan untuk industri non-kelistrikan, salah satunya untuk operasional smelter.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyampaikan bahwa kebijakan hilirisasi mineral berdampak pada menjamurnya pembangunan smelter di dalam negeri.
Kondisi tersebut dilihat sebagai pasar potensial bagi penjualan batu bara domestik kendati kebutuhan batu bara pada sektor pembangkit listrik menurun seiring komitmen PLN untuk mengurangi bauran energi fosil di sektor kelistrikan.
"Lihat peningkatan permintaan batu bara terhadap industri non kelistrikan seperti industri smelter. Saat ini gencar membangun smelter nikel, tembaga, bauksit kemudian juga semen juga masih terus mengalami peningkatan, kertas hingga pupuk," kata Hendra dalam Mining Zone CNBC pada Kamis (27/4).
Selain itu, permintaan batu bara akan terus terawat seiring keputusan pemerintah yang masih mengizinkan pembangungan PLTU batu bara yang terintegrasi dengan industri.
Keputusan tersebut tertulis dalam Pasal 3 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
"Namun di sisi lain, kalau kita lihat permintaan batu bara terhadap industri non-kelistrikan itu trennya terus mengalami peningkatan, karena sejauh ini belum ada substitusi sumber energi yang handal bagi industri non kelistrikan," ujar Hendra.
Pemerintah memasang target realisasi pembangunan 17 smelter baru pada 2023. Pembangunan belasan smelter itu, yang sebagian besar merupakan smelter nikel, ditujukan untuk mendukung program hilirisasi komoditas tambang mineral yang dimulai pertama kali lewat kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada Januari 2020.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian BUMN juga berencana untuk kembali menjajaki peluang kerja sama dengan 12 perusahaan pengolah batu bara yang pernah menyepakati nota kesepahaman dengan PT Pertamina untuk pengerjaan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).
Langkah tersebut merupakan alternatif pemerintah untuk mencari mitra bagi PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina menyusul mundurnya Air Products and Chemicals Inc dari proyek DME di Muara Enim, Sumatera Selatan.
"Batu bara di 2050 masih mempunyai celah pasar jika pemerintah terus mendorong hilirisasi batu bara, dan tentu saja ekspor masih ada sedikit meskipun negara-negara maju akan mengurangi penggunaan batu bara," kata Hendra.