Pengusaha Tambang Minta Indeks Harga Nikel Indonesia Segera Terwujud
Pelaku usaha pertambangan nikel meminta pemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik.
Mereka menilai, adanya indeks harga nikel Indonesia mampu memangkas selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil. Sejauh ini, tagihan royalti mengacu pada harga patokan mineral (HPM) yang merujuk pada rerata harga nikel di pasar London Metal Exchange (LME).
Transaksi nikel di pasar LME merujuk pada jenis nikel kelas satu sebagai bahan baku kendaraan listrik. Sementara produksi dan transaksi nikel di Indonesia mayoritas berasal dari jenis kelas dua seperti nickel pig iron (NPI) feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani, menjelaskan harga pasaran nikel indeks LME lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik yang berbasis feronikel. Menurutnya, harga jual dari feronikel antara penambang dan pelaku usaha smelter berada jauh di bawah LME.
Kondisi tersebut memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% akibat selisih yang muncul dari harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti.
"Jika menggunakan LME sebagai patokan HPM maka akan terjadi over royalti. Intinya pengusaha terbebani royalti yang tinggi," kata Resvani kepada Katadata, Selasa (9/5).
Kondisi tersebut secara paralel akan mengerek harga nikel domestik yang dijual ke perusahaan smelter, utamanya bagi para pelaku usaha smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel. "Kalau ketinggian harganya maka si smelter akan beli nikel mahal, maka pasti keuntungannya menurun," ujar Resvani.
Resvani mengusulkan agar pemerintah mengundang perwakilan pelaku usaha nikel dari sisi penambang dan pelaku usaha smelter untuk merumuskan formula dan mekanisme indeks harga nikel Indonesia.
Fungsi indeks itu akan mirip dengan skema harga batu bara acuan atau HBA yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri.
"Formula dalam indeks ini harus bisa mengakomodir semua pihak, baik itu pelaku tambang yang integrasi dengan smelter atau pelaku tambang tanpa smelter hingga pelaku smelter yang tidak punya tambang agar fair," kata Resvani.
Sebelumnya, Pemerintah tengah merumuskan pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar domestik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengatur transaksi nikel dalam negeri.
“Pemerintah sedang berfikir untuk punya tempat sendiri supaya bisa atur harga itu. Kita juga pingin atur harga sendiri, masak LME yang mengatur harga nikel kita,” kata Luhut di Hotel Westin Jakarta pada Senin (9/5).
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan bahwa acuan HPM nikel domestik masih merujuk pada rerata harga nikel LME. Merujuk laporan London Metal Exchange (LME) pada Selasa (9/5) harga nikel untuk kontrak tiga bulan berada di level US$ 23.997 per ton.
Regulasi mengenai pengenaan royalti nikel tercantum di Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2020 “Indeks harga nikel sendiri kita belum punya,” kata Rida di lokasi yang sama. “Selama ini LME itu kami jadikan acuan bikin HPM.”