Beda dengan B35, BBM Campuran Pertamax dan Bioetanol Tanpa Subsidi
PT Pertamina bakal memproduksi bahan bakar minyak (BBM) jenis baru dari campuran Pertamax beroktan 92 dengan bahan bakar nabati bioetanol 5%. Pertamina menghitung produksi BBM tersebut tidak akan mengerek biaya pencampuran atau blending kilang.
Juru Bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan bahwa proses produksi BBM campuran Pertamax dan bioetanol sudah menyamai harga keekonomian produk. Perhitungan ini berbeda dengan program B35 yang masih perlu subsidi karena terdapat selisih harga wajar dengan harga jual eceran.
“Secara keekonomian dari BBM nya sendiri yaitu Pertamax sudah BBM non subsidi, lain halnya dengan Solar yang masih bersubsidi,” kata Fadjar lewat pesan singkat pada Jumat (23/6).
Fadjar menyatakan proses pencampuran Pertamax dengan Bioetanol 5% tak banyak mempengaruhi beban kilang. Perseroan juga belum memikirkan rencana mengajukan insentif untuk fasilitas pengadaan tempat penyimpanan, pipa penyalur hingga operasional kilang seperti halnya pada program campuran Solar dengan biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit. “Kami belum berencana untuk mengajukan insentif lanjutan karena Pertamax itu produk nonsubsidi,” ujar Fadjar.
Menteri ESDM Arifin Tasrif juga menyampaikan pemerintah tak akan memberikan insentif untuk program campuran Pertamax dan bioetanol. “Masa Pertamax diberi insentif, masa mau tambah ongkos campur lagi,” kata Arifin di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (23/6).
Adapun Pertamina menyatakan jenis BBM terbaru dari campuran komposisi Pertamax dengan bahan bakar nabati bioetanol 5% dapat menaikan nilai oktan atau RON dari 92 menjadi menjadi 95. Kadar oktan tersebut setara dengan Pertamax Plus yang penjualannya dihentikan pada 2016 silam.
Pertamina sejauh ini memiliki tiga produk BBM jenis bensin (gasoline) yang dipasarkan di tiap pom bensin. Di antaranya Pertalite dengan RON 90, Pertamax RON 92 dan Pertamax Turbo dengan angka oktan 98.
Rencananya, ujicoba penyaluran secara komersial bakal berjalan mulai Juli tahun ini di sejumlah pom bensin Pertamina di Surabaya, Jawa Timur. Pemilihan Kota Pahlawan dilatarbelakangi oleh lokasinya yang dekat dengan produsen bahan baku bioetanol di Kabupaten Mojokerto dan Malang. Sifat bioetanol yang cepat busuk karena terbuat dari material tumbuh-tumbuhan mewajibkan penyalurannya harus dekat dan terjangkau dari lokasi pabrik.
Suplai bioetanol domestik untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade saat ini masih berada di berkapasitas 40.000 kiloliter (Kl) dari tiga produsen. Produksi tersebut berasal dari dua pabrik di wilayah Jawa Timur, yakni 30.000 KL dari PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Kabupaten Mojokerto dan 10.000 KL dari PT Molindo Raya Industrial di Kabupaten Malang.