Pemerintah Diimbau Tingkatkan Kerja Sama Global Demi Transisi Energi

Lavinda
Oleh Lavinda
24 Agustus 2023, 10:50
Transisi energi
Pertamina
Bertepatan dengan 2 tahun pascaalih kelola Blok Rokan, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) kini berada di puncak produksi minyak dan gas (migas) Indonesia (9/8/2023).

Pemerintah Indonesia diimbau meningkatkan kerja sama global untuk menghadapi trilema energi di tengah upaya percepatan transisi energi di Tanah Air.

Konsep trilema energi merupakan tiga faktor penting yang harus diperhatikan dalam mengelola energi, yaitu ketahanan energi, keterjangkauan biaya energi, dan keberlanjutan lingkungan.

Senior Vice President of Research Technology and Innovation Pertamina Oki Muraza menyebutkan pemerintah Indonesia perlu meningkatkan dukungan finansial untuk membawa teknologi bersih ke tingkat yang lebih matang.

Selain itu, mendukung peraturan untuk memberi insentif pada produk-produk terbarukan, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia agar siap menghadapi industri yang berkelanjutan.

Dengan kerja sama global yang lebih terbuka antara negara maju dan berkembang, Pertamina merasakan beberapa tindakan nyata dalam mempercepat proyek dekarbonisasi, mulai dari penelitian hingga implementasi.

"Jadi, dari sini kami berusaha membangun kerja sama. Kami sudah ada beberapa contoh, misalnya kami bekerja sama dengan Jepang, CO2 injection di Lapangan Jatibarang, selanjutnya CO2 injection di Lapangan Sukowati," ujar Oki usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Ensuring Renewable Energy Transition pada 18th Sustainability Summit di New Delhi, India, Selasa (22/8). Diskusi tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan B20 Summit 2023.

Dia berharap kerja sama ini dapat menyelesaikan beberapa hal, terutama modal atau pendanaan. "Selanjutnya, kami berusaha melibatkan sebanyak mungkin keterlibatan internasional untuk energi transisi di Indonesia," ujar Oki.

Indonesia memegang peran penting dalam skala global terkait dengan transisi energi karena memiliki kekayaan alam dan lokasi yang strategis. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia yang bisa dijadikan bahan baku baterai listrik.

Indonesia juga memiliki cadangan timah terbesar kedua di dunia, cadangan bauksit keenam dunia, cadangan tembaga ketujuh dunia, dan potensi energi terbarukan mencapai 437,4 gigawatt (GW). Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi carbon capture utilization and storage (CCUS) hingga 400 giga ton.

Oki Muraza menjelaskan kondisi geopolitik seperti konflik Rusia dan Ukraina menyebabkan terjadinya kenaikan harga energi yang juga berimbas terhadap ketahanan energi di Indonesia.

Dia menjelaskan tensi geopolitik berupa perang di Eropa menyebabkan terjadinya kenaikan harga energi. "Kenaikan ini tentunya berbahaya bagi keamanan energi dan ketahanan energi Indonesia," kata Oki

Ia mengatakan setiap negara mempunyai cara yang berbeda dalam merespons trilema energi. Sebagai contoh, negara-negara maju lebih fokus pada keberlanjutan, sementara negara-negara berkembang lebih fokus pada keamanan dan keterjangkauan energi karena hal tersebut merupakan katalis pertumbuhan ekonomi.

"Jadi, kami harus berusaha meningkatkan ketahanan energi dan tetap berusaha mencapai target-target keberlanjutan bagaimana mengurangi emisi, bagaimana menambah volume bisnis energi hijau, listrik hijau, dan seterusnya di Indonesia," ungkap Oki.

Dia mengatakan, sebelum terjadinya krisis geopolitik tersebut, Eropa menjadi salah satu pemimpin untuk perubahan menuju environmental sustainability.

"Tetapi dengan hilangnya keamanan energi di Eropa, mereka harus mengimpor batu bara dan seterusnya, kami melihat ada perubahan di energi campuran di Eropa. Ini tentu dampaknya terhadap dunia juga cukup besar, nah di sana kami melihat perlunya melakukan kerja sama," tuturnya.

Kerja sama global dalam menghadapi trilema energi perlu dilakukan jika dilihat dari emisi CO2 per kapita negara-negara G20. Negara-negara maju berkontribusi di atas rata-rata global sebesar 4,5 ton emisi CO2 per kapita. Amerika Serikat, Kanada, Rusia, dan China merupakan lima besar produsen minyak dunia.

Sementara, India dan Indonesia yang mewakili negara berkembang sebagai troika G20 tahun ini dan tahun lalu masih di bawah 2,5 ton emisi CO2 per kapita.

"Kerja sama sangat penting karena kalau dilihat dari emisi, Indonesia bersama India dengan GDP per kapita yang masih di bawah US$ 5.000 per kapita. Itu keterjangkauannya rendah dan juga saat ini emisinya juga masih di bawah rata-rata dunia, jadi kami masih sekitar 2-2,3 ton emisi CO2," ungkap Oki.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...