Luhut Sebut Industri Mobil AS akan Sulit Tanpa Nikel Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan memberi tanggapan terkait pembicaraan mengenai mineral kritis antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada minggu lalu.
Luhut telah menjalin komunikasi dengan Amos Hochstein (Senior Advisor) dan Jack Sullivan (National Security Advisor) selaku pembantu Presiden Joe Biden terkait mineral kritis yakni nikel.
“Yang intinya sebenarnya menjelaskan, Indonesia itu masalah survival saja. Kita tidak mem-banned seluruhnya nikel ore. Tapi setelah turunan keberapa ya silakan saja, bebas,” kata Luhut dalam keterangan via Instagram pribadinya yang dikutip pada Senin (20/11).
Dengan cara itu, rakyat Indonesia dapat menikmati nilai tambah nikel hingga turunan kedua atau ketiga. Dia juga menyampaikan, perbincangan mengenai mineral kritis merupakan suatu proses negosiasi yang panjang tapi bisa mendekatkan semua pihak demi kepentingan bersama.
“Artinya Amerika paham betul, tanpa Indonesia mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sebelas kali jumlah mobil listriknya pada 2030,” kata dia.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pembahasan mengenai mineral kritis bermula dari keseriusan salah satu anggota senat AS mengenai mineral Indonesia, khususnya nikel. “Kemarin Pak Presiden (Jokowi) dan Pak Biden sudah bicara dan sudah sepakat bikin critical mineral program,” ujarnya di Kementerian ESDM pada Jumat (17/11).
Sejauh ini kedua belah pihak masih membahas mengenai nikel. Nantinya ada pihak khusus mengenai proyek tersebut. "Bentuk dulu timnya, mudah-mudahan bisa cepat,” ujarnya.
Dengan adanya program yang disetujui kedua belah pihak, produk nikel dalam negeri ini dapat masuk ke AS. “Karena mineralnya sangat dibutuhkan untuk transisi energi AS,” kata dia.
Sebagai informasi, Indonesia selama ini berupaya untuk masuk ke dalam ekosistem industri baterai kendaraan listrik AS seiring besarnya insentif dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA) untuk industri teknologi bersih, termasuk baterai kendaraan listrik, yang nilainya mencapai US$ 370 miliar.