BPKP akan Audit Kebijakan Gas Murah, Jadi Dasar Penentuan Industri Penerima
Kementerian ESDM mengatakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat ini tengah mengaudit pelaksanaan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah industri.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut, audit ini dilakukan kepada pelaksana kebijakan pada tahun lalu dan tahun ini untuk melihat manfaat dari HGBT.
“Jadi ada gambaran yang jelas ke pemerintah, ke ESDM, ke Kementerian Keuangan, ke SKK Migas. Terutama ke penerimaan negara, ke dalam benefit-nya yang diperoleh Indonesia itu terukurnya seperti apa,” kata Dadan saat ditemui di Kementerian ESDM pada Jumat (23/8).
Selain untuk mengetahui manfaat terhadap penerimaan negara, Dadan menyampaikan hasil audit ini akan digunakan untuk sebagai dasar penentuan pihak mana saja yang akan menerima kebijakan HGBT.
“Kami akan memilih dari hasil tersebut, nanti siapa yang dapat, siapa yang kami tunda. Karena ini kan harga gasnya murah sehingga banyak yang minta sekarang,” ujarnya.
Dadan mengatakan Kementerian Keuangan sebelumnya telah mengantongi hasil laporan kajian kebijakan HGBT. “Tapi di Pak Menko Marves memutuskan HGBT ini diaudit saja sama BPKP. Ini sekarang sedang jalan,” ucapnya.
HGBT Penyebab PNBP Migas Turun
Sebelumnya, SKK Migas mengatakan kebijakan HGBT menjadi salah satu penyebab turunnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor migas. Kebijakan ini menetapkan harga gas dari hulu US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan industri hulu migas harus mendukung kebijakan HGBT.
“Maka kebijakan penurunan harga gas harus dilakukan, itu salah satu yang membuat penerimaan kami jadi lebih rendah. Tapi HGBT kan memang harus dilakukan karena itu kebijakan pemerintah,” kata Dwi saat ditemui di Jakarta pada Rabu (14/8).
Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan migas hingga Juli 2024 mencapai Rp 64,5 triliun atau turun 6,4% secara tahunan akibat penurunan lifting minyak bumi. “Dalam setahun kami berkontribusi untuk penurunan harga gas sekitar Rp 25-30 triliun,” ujarnya.
Anjloknya lifting ini diakibatkan tertundanya onstream proyek hulu migas dan penyusutan produksi alamiah atau natural decline dari lapangan migas yang cukup tinggi, sejalan dengan fasilitas produksi migas yang menua.
“Sekarang produksi minyak kita masih struggle untuk bisa bertambah, tapi gas sudah naik produksinya. Kalau kita bicara (produksi secara) oil equivalent sekarang sudah mulai naik,” ucapnya.
Selain itu, Dwi mengatakan penurunan penerimaan migas juga dipengaruhi alokasi produksi gas yang saat ini sebanyak 65-70% dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Karena itu kebijakan harga gas untuk domestik sangat pengaruh terhadap PNBP,” kata dia.