Pertamina akan Produksi Biodiesel HVO dari Kilang Dumai dan Pabrik Katalis
Pertamina Patra Niaga berencana memproduksi bahan bakar nabati jenis hydrotreated vegetable oil atau HVO dari Kilang Dumai, Riau. Saat ini produksi biodiesel tersebut baru berasal dari Kilang Cilacap, Jawa Tengah.
"Kami siap memproduksi HVO karena sistem di kilangnya sudah terbangun dan logistiknya kami miliki. Jadi, mudah-mudahan bisa segera masuk ke pasar luas," kata Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya saat ditemui di Sorowoako, Sulawesi Selatan, Kamis (7/11).
Pertamina telah memasok bahan bakar itu sebanyak dua hingga tiga ISO tank (kontainer penyimpanan produk cairan, bubuk, atau gas) untuk PT Vale Indonesia Tbk. Biodiesel ini menjadi bahan bakar alternatif ramah lingkungan dua unit truk tambang Vale merek Komatsu dan Caterpillar.
Selain Kilang Dumai, Maya menyebut, pasokan HVO juga akan disuplai dari Pabrik Katalis Merah Putih di Cikampek, Jawa Barat. Pabrik ini merupakan kerja sama antara Pertamina dengan Pupuk Indonesia.
“Pabriknya sedang proses pembangunan sekarang. Target operasinya saya rasa mungkin tahun depan,” ujarnya.
Apa Itu HVO?
Melansir situs Pertamina, HVO adalah BBN yang dihasilkan melalui proses hidrogenasi minyak nabati atau lemak hewani. Proses ini melibatkan penghilangan oksigen dari minyak nabati atau lemak hewani menggunakan hidrogen
Hasil dari proses tersebut adalah bahan bakar yang mirip dengan diesel konvensional. HVO memiliki sifat-sifat tersebut sehingga dapat digunakan dalam mesin diesel tanpa modifikasi besar.
Salah satu keuntungan memakai HVO, emisi karbonnya lebih rendah dibandingkan bahan bakar minyak diesel yang konvensional. Produksinya juga memakai limbah minyak nabati bekas dan lemak hewani.
Kinerja mesin juga lebih baik dengan memakai biodiesel tersebut karena pembakarannya sempurna. Mesin kendaraan yang memakai HVO cenderung memiliki performa baik dan berumur panjang. Pemakaian HVO juga mudah karena langsung dapat digunakan mesin diesel konvensional tanpa modifikasi besar.
Kekurangan HVO adalah biaya produksinya yang besar sehingga memerlukan investasi dan biaya operasional tinggi. Hal ini yang membuat BBN tersebut lebih mahal ketimbang diesel konvensional.
Selain itu, produksinya juga memiliki tantangan ketersediaan bahan baku. Pasokan minyak nabati dan lemak hewani saat ini terbatas karena permintaannya naik. Alokasi penggunaan lahan untuk tanaman minyak nabati, seperti kelapa sawit, juga terbatas karena bersaing dengan kebutuhan pangan.
Meskipun HVO ramah lingkungan, sumber bahan bakunya, seperti minyak kelapa sawit, sering dikritik memberikan dampak negatif ke lingkungan. Pemakaian hutan tropis untuk kebun sawit telah menyebabkan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayatin.
Implementasi HVO di PT Vale Indonesia
Terkait implementasi HVO di dua unit truk tambang yang beroperasi di Sorowako, Vale mengatakan penggunaan BBN jenis HVO ini mampu memangkas emisi gas rumah kaca hingga 80%. Uji coba pemakaiannya dilakukan pada 14 Oktober-14 November 2024.
Vale mengatakan hasil uji coba selama hampir sebulan ini menunjukkan peningkatan efisiensi yang signifikan dalam operasional, serta pengurangan emisi karbon hingga 70%. Penggunaan HVO juga terbukti mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80% dibandingkan dengan diesel konvensional.
Adapun HVO yang digunakan Vale dipasok oleh Pertamina Patra Niaga. Direktur & Chief Operation and Infrastructure Officer PT Vale Abu Ashar mengatakan, biodiesel dipilih karena produknya dapat langsung digunakan.
“Kami tidak perlu mengubah komponen dari HVO, jadi bisa langsung digunakan. Apalagi materialnya siap, unit truknya siap, langsung kami eksekusi,” kata Abu.