Kolombia Hingga Negara Pasifik yang Nyaris Tenggelam Minta Kejelasan Dana Iklim
Baku, Azerbaijan – “Awan” frustrasi menggelantung di konferensi PBB di bidang iklim COP29. Lembaga-lembaga internasional mengeluarkan laporan peringatan iklim yang kian mengkhawatirkan. Namun, terobosan untuk mendanai aksi agresif pengendalian iklim belum juga tercapai. Menteri Kolombia hingga negara-negara pasifik yang nyaris tenggelam membuat pernyataan keras dan menyampaikan kekesalannya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Kolombia Maria Susana Muhamad mengatakan, dalam kasus Kolombia yang adalah eksportir batubara dan produsen minyak, just transition alias transisi ke ekonomi rendah karbon yang berkeadilan berarti transisi ekonomi secara keseluruhan.
“Kami harus berpikir bagaimana mengganti pendapatan negara dan ketergantungan pada ekspor bahan bakar fosil. Selain itu, sektor apa yang akan menggantikan sektor-sektor tersebut,” kata dia dalam pertemuan tingkat menteri membahas just transition, Senin, 18 November 2024. “Ini adalah upaya yang tidak pernah terjadi dalam sejarah negara, menciptakan sektor-sektor ekonomi yang sepenuhnya baru dalam waktu satu setengah dekade,” ujarnya.
Maria menjelaskan, dengan sistem finansial dan proses ekonomi yang ada saat ini, sulit untuk melakukan transisi semacam itu. Maka itu, emisi gas rumah kaca terus meningkat, produksi bahan bakar fosil menanjak. “Saya bertanya kepada Anda, siapa yang akan menaruh ekonomi mereka dalam risiko tanpa jaminan ke depan,” kata dia.
Ia menekankan, dirinya tidak sedang mencari alasan untuk menghindari komitmen iklim. Namun, ia meminta adanya pembicaraan soal akses kepada modal yang adil, kesepakatan perdagangan, bagaimana memanfaatan teknologi secara efektif, termasuk soal pasokan dan permintaan bahan bakar fosil. Ia menekankan pentingnya pendanaan publik alias dari negara maju, dan bukannya menyerahkan pada pasar alias investor yang memiliki penilaian lemah.
“Ini saatnya untuk politik dan multilateralime kembali memegang kendali. Jika tidak, kita akan terus melanjutkan rencana iklim negara (National Determined Contribution) yang ada,” kata dia. “Setiap orang melakukan yang dia bisa dengan apa yang dimilikinya, yang pada akhirnya memebuat kami tertinggal di belakang, dan krisis iklim semakin memburuk,” ujarnya.
Kolombia baru saja meluncurkan rencana investasi US$ 40 miliar untuk transisi ekonomi dari minyak dan gas, di antaranya dengan mengejar peluang ekonomi hijau di bidang pariwisata dan restorasi alam. Konsepnya, ini didanai donor seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diteken Afrika Selatan, Vietnam, Indonesia, and Senegal dengan negara-negara maju.
Pada kesempatan berbeda, dalam diskusi panel di Paviliun negara-negara Pasifik, Menteri Perubahan Iklim dan Ketahanan Nasional Nauru Asterio Appi menyatakan negaranya telah melakukan studi untuk melakukan transformasi atas tanahnya agar tahan terhadap tantangan iklim dan tidak tenggelam. Nauru adalah negara pulau kecil di Samudera Pasifik dengan penduduk sekitar 10 ribu orang. Negara tersebut memiliki rencana pembangunan “High Ground Initiative” untuk menjaga keberlangsungan pulau dan hidup penduduknya.
”Berapa banyak COP yang harus saya datangi agar Anda percaya pada saya. Saya telah melakukan studi dan kami butuh pendanaan (untuk merealisasikan strategi kami. Ini kan seharusnya COP keuangan,” kata dia, dengan raut kesal.
Selama ini, negara-negara maju terikat dengan target yang disepakatinya pada 2015 yaitu dana iklim minimal US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun, meski realisasi nyatanya diragukan banyak pihak. Target ini dikenal dengan New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) dan berlaku hingga 2025. Target ini tengah didorong untuk segera diperbaharui dengan angka yang lebih ambisius untuk mendorong aksi iklim yang lebih agresif.
Avinash Persaud, Penasehat Khusus Bidang Perubahan Iklim dari Presiden Inter-American Development Bank, mengatakan negara berkembang membutuhkan US$ 2,4 triliun per tahun per tahun untuk membiayai aksi iklimnya. Menurut dia, setidaknya Rp 1 triliun harus datang dari dunia internasional yaitu negara maju hingga lembaga keuangan multilateral dalam bentuk hibah dan pinjaman berbunga rendah. “Jika kita tidak mendapatkan NCQG yang ambisius dari COP ini. Kita tidak akan dapat melaksanakan aksi iklim yang agresif,” ujarnya.
Peringatan Bahaya Perubahan Iklim dari Lembaga Internasional
Bertepatan dengan penyelenggaraan COP29, lembaga-lembaga internasional mengeluarkan laporan terbarunya soal perkembangan iklim yang semakin mengkhawatirkan. World Meteorological Organization merilis “red alert” alias peringatan soal temperatur bumi yang kembali mencetak rekor terpanas pada 2024. Temperatur bumi pada Januari-September 2024 tercatat 1,54 derajat celcius di atas era pra-industri atau menembus target bersama pada Kesepakatan Paris atau Paris Agreement. Tahun 2015-2024 disebut sebagai dekade terpanas.
Sementara itu, International Cryosphere Climate Initiative mengeluarkan peringatan soal risiko bencana akibat mencairnya es dunia karena aksi iklim yang tidak cukup menahan pemanasan global. Dengan NDC (rencana aksi iklim negara-negara) saat ini, temperatur bumi diprediksi naik 2,3 derajat celcius pada 2100 dibanding era pra-industri. Pada level ini, es di wilayah tropis dan ketinggian menengah bisa hilang sepenuhnya dan bencana-bencana besar yang terjadi saat ini seperti banjir dan tanah longsor akan semakin banyak terjadi. Ini akan memengaruhi ketahanan pangan, air, dan energi.
Dengan situasi iklim yang semakin buruk, dana yang dibutuhkan untuk mitigasi, adaptasi, penanganan kerusakan, hingga penanganan migrasi manusia akan semakin besar. Problemnya, negara-negara maju yang jadi kontributor utama gas rumah kaca dan bertanggung jawab atas porsi besar pendanaan iklim tengah mengalami pengetatan keuangan dan pelemahan ekonomi. Dengan situasi ini, banyak pihak meragukan akan ada lonjakan komitmen pendanaan.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: