Setahun Listrik Berdampak, Rasio Elektrifikasi Nasional Tembus 99,1%
Pemerintah terus memperluas akses energi hingga ke daerah terpencil di seluruh Indonesia. Program Listrik Desa (Lisdes) dan Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) menjadi bagian dari strategi nasional untuk memastikan pemerataan energi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pedesaan.
“Di desa-desa terpencil, cahaya listrik kini menjadi simbol kehadiran negara dan pembuka jalan bagi kesempatan sosial-ekonomi. Listrik tidak lagi hanya aspek penerangan, namun meningkatkan pula akses pendidikan, produktivitas, dan taraf hidup masyarakat,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Jakarta, Selasa (21/10).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program Listrik Desa telah menjangkau 10.068 lokasi dan memberi manfaat bagi lebih dari 1,2 juta calon pelanggan baru. Realisasi BPBL periode 2024 tercatat telah diterima 155.429 rumah tangga.
Untuk periode Januari hingga September 2025, sebanyak 135.482 rumah tangga telah terpasang dari target 215.000 rumah hingga akhir tahun. Program ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam mempercepat pemerataan energi sebagai pilar pembangunan inklusif.
Rasio elektrifikasi nasional saat ini mencapai 99,1 persen. Pemerintah menargetkan rasio tersebut mencapai 100 persen pada 2030.
Bahlil menjelaskan, wilayah yang belum terjangkau umumnya merupakan daerah dengan kondisi geografis menantang, seperti pulau-pulau kecil dan pedalaman.
Untuk menjangkau wilayah tersebut, Kementerian ESDM mendorong penggunaan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) melalui pembangunan pembangkit listrik yang berkelanjutan.
Ia menurutkan, perubahan arah kebijakan juga mencakup transformasi menuju energi yang bersih dan berkelanjutan. Oleh karenanya, pemerintah sudah meresmikan puluhan pembangkit energi terbarukan, mempercepat proyek PLTS berkapasitas 100 gigawatt, dan melibatkan koperasi desa dalam transisi energi.
“Ekonomi dan ekologi tidak harus dipertentangkan. Keduanya bersinergi menciptakan fondasi pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan merata,” kata Bahlil.
Selain mendukung aspek lingkungan, perluasan akses listrik juga berdampak langsung terhadap peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. “Setelah 80 tahun merdeka, tidak selayaknya ada warga yang masih mengalami gelap gulita,” ujar Bahlil.
Dampak sosial-ekonomi terlihat dari kisah warga penerima manfaat program BPBL. Ruslam, warga Desa Bandar Jaya, Kecamatan Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, mengaku kehidupan keluarganya kini lebih efisien.
“Alhamdulillah, sekarang rumah kami terang, tanpa harus mikir beli bensin tiap malam. Anak-anak bisa belajar sampai malam, istri bisa menjahit tanpa terburu-buru, dan saya bisa istirahat dengan tenang,” katanya.
Sementara itu, di Kampung Iraiweri, Distrik Anggi, Pegunungan Arfak, warga juga menikmati listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Anggi.
“Semua rumah itu harus dapat listrik, supaya untuk kami punya anak-anak kami itu bisa belajar, mamak-mamak bisa masak dengan (penerangan) lampu. Saat saya lahir di sini, kami belum ada lampu. Kami bikin api. Kami baca, belajar, itu pasang, bikin gelegar untuk jadi pelita,” ungkap Elias Inyomusi.
Bahlil memastikan, pengembangan infrastruktur listrik di desa-desa akan terus menjadi prioritas hingga seluruh wilayah Indonesia mendapatkan akses energi yang setara. Pemerintah menargetkan, pada 2030 tidak ada lagi wilayah yang tertinggal dalam menikmati manfaat listrik sebagai bagian dari pembangunan nasional.
