Indonesia Jajaki Pengembangan Energi Nuklir dengan Brasil
Pemerintah Indonesia dan Brasil telah menyepakati kerja sama di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), salah satunya adalah pengembangan nuklir. Hal ini ditandai dengan penandatangan nota kesepahaman (MoU) ESDM Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, dan Menteri Pertambangan dan Energi Brasil, Y.M. Alexandre Silveira, yang disaksikan langsung oleh kedua kepala negara.
Kesepakatan baru ini mencakup kerja sama yang komprehensif, mulai dari kegiatan hulu dan hilir migas, energi baru dan terbarukan (termasuk bioenergi, surya, dan angin), efisiensi energi, modernisasi jaringan, sumber daya mineral, hingga pengembangan kapasitas SDM.
“Kemarin saya tanda tangan MoU termasuk di dalamnya adalah menjajaki kemungkinan kerja sama nuklir,” kata Bahlil saat ditemui usai Upacara HUT Pertambangan ke-80 di Monas, Jumat (24/10).
Dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2025-2034 Indonesia berencana untuk membangun dua Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Sumatra dan Kalimantan mulai 2027.
“(Potensi ini muncul) karena Brasil memiliki cadangan uranium (bahan baku nuklir) dan beberapa pembangkit mereka juga sudah memakai nuklir. Jadi sifatnya kami menjajaki,” ujarnya.
Selain nuklir, dalam pertemuan kedua negara yang terlaksana pada Kamis (23/10) di Istana Negara juga dilakukan tukar pandangan terkait mandatory atau kewajiban penerapan etanol dalam BBM. Brasil sendiri sudah menetapkan kewajiban 27% etanol (E27) di negara mereka, sementara Indonesia berencana menetapkan E10 pada 2027. Itu berarti BBM di Indonesia akan mengandung 90% bensin dan 10% etanol.
“Kita tahu Brasil merupakan salah satu negara yang melakukan transisi energi dengan cepat, khususnya pada BBM mereka. Bahkan di beberapa wilayah mereka sudah menerapkan E85 sampai E100,” ujarnya.
Bahlil mengatakan total volume yang dibutuhkan untuk program kewajiban E10 pada 2027 mencapai 1,4 juta kiloliter (kl). “Kami berencana semua (kebutuhan) dipenuhi dari dalam negeri. Jadi kalau mau kita investasi dalam negeri,” kata Bahlil
Dia menyampaikan etanol yang akan diproduksi Indonesia berasal dari tumbuhan seperti singkong, tebu atau jagung. Pembangunan pabrik etanol dalam negeri akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sektor pertanian.
“Tapi memang dalam prosesnya harus ada mekanisasi teknologi, supaya ekonomi daerah bisa tumbuh. Begitu (bahan baku etanol) selesai ditanam, kami akan bangun pabriknya,” ujarnya.
Masa tanam bahan baku etanol ini memakan waktu selama satu setengah hingga dua tahun. Dia menyebut dalam prosesnya investor yang membangun pabrik etanol di Indonesia berpeluang mendapatkan insentif dari pemerintah. Bisa berupa tax holiday dan pasar yang captive.
Dia menyebut sudah ada pihak yang berminat membangun pabrik etanol dalam negeri, yakni Brasil. “Semalam saya ketika tanda tangan MoU (dengan Brasil), kami berdiskusi. Ada kemungkinan besar (Brasil bangun pabrik),” ucapnya.
