Bahlil Nyalakan Harapan Lewat Program Merdeka dari Kegelapan
Di tengah udara sejuk Minahasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berdiri di depan warga desa yang bersorak bahagia. Hari itu menjadi penanda bersejarah: listrik akhirnya menyala di salah satu desa terpencil Sulawesi Utara. Cahaya sederhana dari lampu bohlam itu menjadi simbol hadirnya negara di sudut paling jauh negeri ini.
“Masih ada sekitar sebelas atau dua belas desa di Sulawesi Utara yang belum ada listriknya. Saya mau semuanya selesai tahun 2026. Desember harus sudah selesai,” ujar Bahlil dengan nada tegas namun bersahabat.
Pidato itu bukan sekadar janji teknis. Di hadapan warga yang sebagian besar petani dan guru, Bahlil menegaskan makna strategis pemerataan energi. “Jangan sampai daerah-daerah yang berbatasan dengan negara lain merasa tidak diurus. Ini bukan hanya soal listrik, tapi soal kedaulatan negara,” lanjutnya.
Bagi Bahlil, listrik bukan sekadar fasilitas, melainkan fondasi pemerataan ekonomi dan pendidikan. Ia tahu betul medan sulit yang dihadapi masyarakat di pelosok. Ia pernah menempuh perjalanan empat jam melewati bukit dan sungai menuju Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, kampung halamanGubernur Dominggus Mandacan. Jalan yang dilaluinya licin, menanjak, dan di sisi lain menganga jurang dalam.
“Di sana ada sungai besar yang juga jadi lokasi penambangan emas. Saya tidak tahu izinnya ada atau tidak,” katanya sambil tersenyum, disambut tawa kecil warga.
Bahlil masih ingat bagaimana di wilayah itu listrik hanya bersumber dari pembangkit berdaya 500 kWh. Ia langsung menginstruksikan agar kapasitasnya ditingkatkan menjadi 1 megawatt. “Kalau mau bangun, jangan tanggung-tanggung,” tegasnya. “Masyarakat di sana harus jalan jauh angkut BBM. Kalau jalan licin, truknya bukan naik, tapi malah turun masuk jurang.”
Program Merdeka dari Kegelapan yang dijalankan Kementerian ESDM bersama PT PLN (Persero) menjadi bagian dari strategi besar pemerataan energi nasional. Program ini menargetkan seluruh desa terpencil mendapatkan akses listrik yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan.
Selain melakukan pemasangan listrik gratis bagi masyarakat tidak mampu, Bahlil juga meresmikan pengoperasian sejumlah pembangkit tenaga mikrohidro (PLTMH). Di antaranya PLTMH Wairara berkapasitas 128 kilowatt di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur; PLTMH Anggi I berkapasitas 150 kilowatt; dan peletakan batu pertama PLTMH Anggi II berkapasitas 500 kilowatt di Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Program ini tidak hanya menyalakan lampu di rumah warga, tetapi juga menyalakan potensi ekonomi baru di desa. Dengan listrik, masyarakat bisa menggerakkan usaha mikro, meningkatkan produktivitas pertanian, hingga mengembangkan industri kecil berbasis lokal.
Dalam kesempatan itu, Bahlil mengenang masa kecilnya di kampung tanpa listrik. Ia bercerita bagaimana murid-murid di sekolah harus membuat penghapus dari kain bekas yang dijahit sendiri.
“Kalau siswa nakal, tugasnya menjahit penghapus,” katanya sambil tertawa, disambut tawa warga. “Itu kearifan lokal yang membentuk anak-anak tangguh. Dari situ lahir pemimpin, pengusaha, jenderal, orang besar.”
Baginya, listrik adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. “Tanpa listrik, anak-anak desa tertinggal dari dunia yang semakin digital. Saya tidak bisa bayangkan anak-anak di kota belajar dengan teknologi, sementara anak-anak di pelosok masih gelap,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pesan Presiden Prabowo Subianto agar semua anak Indonesia memiliki kesempatan pendidikan dan akses teknologi yang sama. “Tujuannya sederhana,” ujar Bahlil, “agar nanti mereka yang sukses tidak lupa dengan rakyat yang masih susah.”
Bahlil memandang pemerataan energi sebagai bagian dari visi besar kedaulatan nasional. Bagi dia, energi bukan semata urusan pasokan, tetapi juga hak setiap warga negara. Pemerintah, katanya, harus memastikan bahwa cahaya listrik bisa menyentuh seluruh wilayah, dari kota hingga pelosok terpencil.
“Mungkin anak-anak dari 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum berlistrik ini, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi akan jadi presiden, menteri, atau gubernur,” katanya pelan, penuh keyakinan.
Ia menutup pidatonya dengan kalimat yang menjadi refleksi spiritual. “Barang siapa yang menyelesaikan perkara kecil dengan baik, Tuhan akan memberinya perkara besar,” katanya.
Menjelang senja, ketika matahari mulai tenggelam di balik perbukitan Minahasa, lampu-lampu di desa itu menyala serentak. Satu per satu rumah bercahaya, dan tawa anak-anak menggema di udara.
Program Merdeka dari Kegelapan bukan hanya proyek listrik desa, melainkan kisah nyata tentang pemerataan, harapan, dan keyakinan bahwa terang akan sampai ke seluruh penjuru negeri.
