Profil Tambang Emas Martabe, Benarkah Jadi Penyebab Banjir Bandang Sumut?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengecek lokasi tambang emas Martabe, Tapanuli Selatan, yang diduga menjadi salah satu penyebab banjir bandang Sumatera Utara pada akhir November 2025. Bahlil mengatakan tambang emas Martabe saat ini tidak beroperasi.
“Kemarin sih tidak berlanjut (operasi), karena kemarin saya minta bantu untuk mereka fokus bantu, alat-alat mereka bantu saudara-saudara kita yang kena bencana,” kata Bahlil dikutip dari Antara, Jumat (5/12).
Bahlil menyampaikan Kementerian ESDM telah menerjunkan tim untuk mengevaluasi kembali izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh dan Sumatera Utara setelah adanya banjir bandang dan longsor. Bahlil menyebut pemerintah tidak ragu mencabut IUP dan memberi sanksi kepada perusahaan-perusahaan tambang jika mereka terbukti melanggar ketentuan.
Profil Tambang Emas Martabe
Dilansir dari laman resmi Agincourt Resources (PTAR), tambang Martabe mulai beroperasi sejak 2012. Total area konsesi tambang Martabe tercantum dalam Kontrak Karya 30 tahun generasi keenam antara PT Agincourt Resources (perusahaan) dan Pemerintah Indonesia.
Luas awal yang ditetapkan pada 1997 adalah 6.560 km2, namun dengan beberapa pelepasan, saat ini menjadi 1.303 km2 (130.252 hektar) yang berlokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.
Berdasarkan data perusahaan hingga Juni 2025, sumber daya mineral tambang diperkirakan sebesar 6,4 juta ounce emas dan 58 juta ounce perak, sedangkan cadangan bijih diperkirakan sebesar 3,56 juta ounce emas dan 31 juta ounce perak.
Tambang Emas Martabe terletak di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara beroperasi di area seluas 646,08 hektar per Desember 2024. Sejak produksi dimulai pada 24 Juli 2012, setiap tahunnya tambang emas Martabe telah memproses lebih dari 6 juta ton bijih dan menghasilkan lebih dari 200.000 ounce emas dan 1–2 juta ounce perak.
Perusahaan menyebut tambang ini terletak di jalur sesar Sumatera, membuat terbentuknya endapan aliran mineral dan kaya akan kandungan emas dan perak. Saat ini Agincourt tiga tambang terbuka (open pit), mulai dari Pit Ramba Joring yang dibuka 2017, Pit Barani yang dibuka 2016, dan Pit Purnama yang dibuka 2011.
Agincourt juga saat ini menjalankan pabrik pengolahan bijih emas carbon-in-leach (CIL) konvensional. Pabrik ini memiliki kapasitas lebih dari 7 juta ton bijih per tahun.
Benarkah Jadi Penyebab Banjir Bandang?
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyampaikan lokasi tambang emas yang disebut-sebut menjadi penyebab bencana banjir bandang di Pulau Sumatera, jauh dari lokasi bencana.
“Katanya wilayah kerjanya jauh,” ujar Yuliot ketika ditemui setelah menghadiri rapat di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Senin.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menilai Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang mineral dan batu bara (minerba). Terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.
Di tingkat kawasan hutan, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama pelepasan fungsi lindung menjadi ruang ekstraksi, tutur dia. Di Pulau Sumatera saat ini tercatat sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare.
Dari jumlah tersebut, 66 izin diperuntukkan bagi tambang dengan luas 38.206,46 hektare, 11 izin untuk panas bumi/geothermal dengan luas 436,92 hektare, 51 izin untuk migas seluas 4.823,87 hektare, 72 izin untuk proyek energi lainnya dengan luas 3.758,68 hektare, sementara sisanya diberikan untuk keperluan telekomunikasi, pemerintahan, dan berbagai kepentingan lain.
“PT Agincourt Resources (PTAR), pengelola tambang emas Martabe di bentang Ekosistem Batang Toru, termasuk salah satu pemegang PPKH ini,” kata dia.
Dengan bukaan lahan yang saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 570,36 hektare di dalam kawasan hutan, menggambarkan skala intervensi langsung terhadap penyangga utama daerah aliran sungai di kawasan tersebut.
Menanggapi hal itu, Senior Manager Corporate Communications PTAR Katarina Siburian Hardono mengatakan bahwa lokasi banjir bandang di Desa Garoga berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Garoga/Aek Ngadol, yang berbeda dan tidak terhubung dengan DAS Aek Pahu, tempat PTAR beroperasi.
"Pemantauan kami juga tidak menemukan material kayu di DAS Aek Pahu yang dapat dikaitkan dengan temuan di wilayah banjir. PTAR mendukung penuh kajian komprehensif yang dilakukan pemerintah atas seluruh faktor penyebab bencana ini dan siap bekerja sama secara transparan," ujar Katarina.
