Tahun 2026 Menjadi Momen Krusial Implementasi RUPTL Terbaru dan Transisi Energi
Tahun 2026 menjadi fase krusial bagi implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Ini menjadi momen dimulainya eksekusi rencana peningkatan bauran energi terbarukan dan pembangunan infrastruktur kelistrikan nasional.
Dalam dokumen RUPTL terbaru, Indonesia menargetkan penambahan total kapasitas pembangkit listrik sebanyak 69,5 Gigawatt (GW). Sebanyak 76% dikhususkan untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Jumlahnya mencapai 42,6 GW pembangkit EBT dan 10,3 GW storage atau penyimpanan energi.
Ini membuat pemerintah dan PLN perlu bergerak cepat memulai pembangunan EBT, menyiapkan sistem penyimpanan energi, serta penguatan jaringan transmisi. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga harus memastikan dukungan regulasi dan pendanaan berjalan efektif. Jika langkah awal ini melambat, target transisi energi dan komitmen iklim Indonesia akan terganjal sejak awal dekade.
Tahun ini juga menjadi fondasi keberhasilan target jangka menengah. Beberapa di antaranya seperti peningkatan tambahan kapasitas EBT sekitar 7–10 GW pada periode awal. Tahun 2026 perlu menjadi titik percepatan proyek EBT skala besar, perluasan akses listrik bersih, dan penguatan tata kelola agar peta jalan transisi energi tidak keluar dari lintasan.
Selama Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, ia sudah merilis sejumlah kebijakan penting. Awal Oktober lalu, Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Beleid ini akan mengatur dasar bagi pelaksanaan perdagangan karbon, pungutan karbon, dan mekanisme pengendalian gas rumah kaca (GRK).
Tiga inisiatif itu menjadi langkah untuk pengendalian perubahan iklim selaras dengan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Langkah ini juga sejalan dengan ambisi Prabowo untuk menghentikan penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam 15 tahun ke depan.
Pada November 2024 lalu, dalam sebuah sesi di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, Prabowo menegaskan komitmennya untuk transisi energi terutama terkait operasi pembangkit listrik tenaga fosil.
"Kami juga memiliki cadangan panas bumi yang sangat besar dan kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan seluruh pembangkit energi fosil dalam 15 tahun ke depan," ujar Prabowo yang dilansir dari siaran YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu (20/11/2024).
CIta-cita ketahanan energi yang diinginkan Prabowo juga dituangkan melalui anggaran ketahanan energi mencapai Rp402 triliun pada 2026 mendatang. Langkah ini menjadi sinyal positif untuk sektor energi Indonesia, meski tak seluruhnya untuk transisi energi.
Sejak awal, visi Presiden Prabowo untuk sektor energi dibingkai dalam semangat kemandirian nasional dan ketahanan energi berbasis sumber daya domestik. Dalam berbagai pidato kenegaraan, ia menekankan pentingnya "swasembada energi", yang berarti pemanfaatan maksimal sumber daya alam Indonesia, termasuk pengembangan energi terbarukan.
Target Bauran RUPTL 2025-2034 Perlu Diawasi
Policy Strategist Manager CERAH Wicaksono Gitawan mengatakan sebesar 30,4 GW kapasitas pembangkit baru dibebankan pada lima tahun kedua, padahal RUPTL kini hanya diperbarui setiap empat tahun.
Wicaksono mendiskusikan target-target yang ditetapkan tersebut apakah akan tetap dijalankan pada lima tahun berikutnya, atau malah berubah lagi lantaran adanya Pemilihan Presiden (Pilpres) di 2029 mendatang.
"Karena seperti kita ketahui 2029 nanti mungkin ada pemilihan presiden, mungkin ada perbedaan lagi mungkin kalau misalnya presidennya ganti atau mungkin presidennya tetap sama, apakah masih mempunyai visi yang sama, kementerian-kementerian terkaitnya juga sama?" ujar Wicaksono dalam diskusi di siniar Green Talks bertajuk “Mengupas RUPT Terbaru, Bagaimana Masa Depan Energi Bersih Kita”, Jumat (11/7/2025).
Rencana Penambahan Pembangkit per Jenis EBT (GW) pada RUPTL 2025-2034
| Surya | Air | Angin | Baterai | Panas Bumi | PLTA Pump Storage | Bionergi | Nuklir |
| 17,1 GW | 11,7 GW | 7,2 GW | 6 GW | 5,2 GW | 4,3 GW | 0,9 GW | 0,5 GW |
Prabowo pun telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada September 2025 lalu. Dalam peraturan ini, pemerintah mendorong penggunaan energi surya hingga 28% dalam bauran energi nasional pada 2030, dan terus meningkat hingga 32% pada 2060.
Dalam tahun pertamanya, pemerintahan Prabowo mengirimkan sinyal positif dengan mendorong peningkatan bauran EBT hingga mendekati target 25 persen pada 2025, meski masih jauh dari ideal.
Beberapa inisiatif seperti proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), eksplorasi panas bumi di Sulawesi, serta dorongan investasi untuk kendaraan listrik (EV) menunjukkan niat melanjutkan agenda energi bersih.
Di sisi lain, tekanan global terhadap emisi karbon semakin kuat. Dunia menuntut negara-negara penghasil komoditas besar seperti Indonesia untuk segera mengubah pola produksi dan konsumsi energi. Tekanan ini bukan hanya bersifat moral, melainkan juga ekonomi, karena investor global kini lebih memilih portofolio hijau.
Kebijakan energi Prabowo menghadapi tantangan besar bagaimana mengimbangi ambisi industrialisasi berbasis mineral kritis seperti nikel dan bauksit dengan komitmen terhadap keberlanjutan.
"Hal-hal kayak gini makanya kalau kita bilang penambahan-penambahan energi fosil ini justru akan menghambat transisi energi," terang Wicaksono.
KEN 2025 juga berencana mengurangi bauran energi batu bara ke 41,6% pada 2030 dan terus menurun ke 7,8% pada 2060. Lewat PP Nomor 40 Tahun 2025 Pasal 10, disebutkan bahwa penyediaan energi primer Indonesia pada 2030 ditargetkan antara 368 hingga 454 juta tonnes of oil equivalent (TOE) atau ton setara minyak dengan porsi EBT yang ditargetkan sebesar 19% hingga 23%.
Akhirnya pada 2060, penyediaan energi primer ditargetkan antara 665 juta TOE sampai dengan 775 juta TOE dengan bauran EBET antara 70% sampai dengan 72%. Ada rencana transisi energi yang bertahap namun konsisten di situ. EBT juga akan mengambil peran yang makin signifikan dalam sistem energi nasional, kalau implementasi sejalan dengan rencana ini.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyoroti target energi terbarukan yang hanya dipatok di rentang 19–21% pada 2030, lalu naik bertahap hingga 58–61% pada 2060, yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Angka ini dinilai sangat rendah dibandingkan dengan potensi teknis Indonesia yang mencapai lebih dari 3.000 gigawatt (GW).
ICEL berpandangan hal ini menunjukkan lemahnya komitmen percepatan transisi energi. Sebaliknya, porsi batu bara tetap tinggi, yakni 47–50% pada 2030, kemudian 38–41% pada 2040, 22–25% pada 2050, dan tetap sekitar 8–10% pada 2060. Konsistensi bauran batu bara ini memperpanjang umur pembangkit, meningkatkan risiko carbon lock-in serta mengancam pencapain target puncak emisi 2035 dan net-zero 2060.
ICEL menilai Prabowo justru menurunkan ambisi energi terbarukan dan justru memperpanjang dominasi batu bara dalam struktur energi hingga beberapa dekade ke depan.
Senior Strategist ICEL Grita Anindarini mengatakan, kebijakan ini memperlihatkan kontradiksi karena di satu sisi Indonesia menyatakan komitmen menuju dekarbonisasi dan target net zero, tetapi di sisi lain tetap menormalisasi penggunaan batu bara hingga puluhan tahun ke depan.
Ninda–sapaan Grita– juga belum melihat aspek transisi energi berkeadilan dalam PP KEN terbaru ini. Menurutnya, aspek berkeadilan tak hanya berkaitan dengan pemulihan bagi masyarakat terdampak dari proyek-proyek energi terbarukan. Namun, transisi energi berkeadilan seharusnya juga berbicara upaya pemerintah menyiapkan dari sisi strategi pemulihan ekonomi bagi masyarakat terdampak.
"Isu misalnya soal bagaimana kita bisa mempersiapkan strategi bagi bekerja yang terdampak, bagaimana kita bisa mempersiapkan strategi diversifikasi ekonomi bagi daerah terdampak misalnya. Nah memang di PP KEN itu tidak menyentuh sampai ke sana gitu," terang Ninda dalam wawancara dengan Katadata (29/9/2025).
Pemerintah masih memiliki ruang untuk mengoreksi. KEN seharusnya menjadi instrumen yang mampu menjadi penambat ambisi Indonesia untuk bertransisi dari energi fosil secara adil. Penyusunan kebijakan transisi energi yang berkeadilan harus dilakukan secara terbuka, partisipatif, serta perlu memiliki target pemensiunan PLTU dan target energi terbarukan yang lebih ambisius.
