Asosiasi Pengusaha Sebut Tiga Sebab Penjualan Retail Merosot
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebutkan tiga alasan merosotnya penjualan retail sehingga berbagai pusat perbelanjaan sepi pembeli. Ketiganya adalah perubahan perilaku konsumen, minimnya lapangan kerja dan kehadiran toko online.
"Itu yang membuat sektor industri retail ini ada penurunan dalam dua tahun terakhir," ujar Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey saat ditemui di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (17/7).
Roy menjelaskan, terkait dengan perilaku konsumen yang berubah terlihat dari konsumen yang saat ini hanya ingin berbelanja secukupnya di toko terdekat dengan tempat tinggal atau kantor masing-masing. Sehingga, beberapa pusat perbelanjaan yang jauh dari kedua tempat tersebut menjadi lebih sepi pembeli.
(Baca juga: Survei BI: Penjualan Retail Diprediksi Makin Lesu Setelah Lebaran)
Kedua, jumlah populasi yang baru memasuki usia kerja lebih besar ketimbang lapangan kerja formal yang tersedia. Dengan demikian, warga berusia produktif ini tidak mendapatkan pendapatan yang cukup untuk berbelanja dalam jumlah besar.
Terakhir, Roy mengakui keberadaan toko online sebagai penggerus penjualan toko fisik. Roy menjelaskan, toko online merupakan salah satu alternatif perbelanjaan yang cukup berkembang pesat belakangan ini.
Hanya, menurut Roy, tren pergeseran belanja dari toko fisik ke toko online masih belum besar. Ia menyebut, hanya 1 persen toko fisik yang tergerus keberadaan toko online pada tahun 2016 lalu. Jumlah itu menjadi sekitar 2 persen di tahun 2017 ini.
Untuk mensiasatinya, Roy menyarankan berbagai toko yang ada untuk mengikuti perkembangan teknologi digital. "Kami ketahui beberapa peretail sudah ikut terjun online untuk memperdagangkan barangnya. Ini merupakan suatu globalisasi atau keniscayaan yang harus berubah dan harus diikuti," ujar Roy.
Dirinya pun memprediksi, pertumbuhan sektor ritel masih akan stagnan di angka 9 persen, sama seperti tahun lalu. (Baca juga: Tak Menguntungkan, Dua Gerai Hypermart Ditutup)
Sementara, mengomentari sepinya pusat perbelanjaan seperti Glodok dan Roxy Square, Roy menyebut hal itu dipengaruhi oleh struktur biaya sewa. Di Glodok, menurutnya perjanjian sewa dibuat lima tahun sekali. Maka saat harga sewa dinaikkan setelah siklus lima tahunan, banyak penyewa pergi.
Begitu pula di Roxy Square, model bisnis persewaan gerainya berbeda dengan Roxy Mas yang masih tetap ramai. "Perubahan harga, perubahan teknologi, perubahan servis, ini yang membedakan,” ujarnya.