BI Yakin Indonesia Bukan Incaran Sanksi Dagang Trump
Bank Indonesia (BI) optimistis negeri ini akan lolos dari ancaman sanksi dagang Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Meski masuk dalam daftar Negara yang dicurigai telah melakukan kecurangan sehingga membuat neraca dagang Negeri Paman Sam defisit, Indonesia diyakini bukan sasaran utama.
“Indonesia bukan target utama dari kebijakan Trump. Karena struktur perdagangan kita tidak berhubungan langsung ke sana,”kata Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsyah, Kamis (6/4).
Nanang juga memastikan bahwa Bank Indonesia tidak melakukan manipulasi kurs (currency manipulation) untuk menggelembungkan nilai ekspor ke Amerika. "Mungkin yang akan lebih terkena adalah negara-negara yang memang struktur ekspornya lebih banyak yang terkait dengan non komoditas. Seperti vietnam, Taiwan yang bisa jadi akan dicap sebagai negara currency manipulation," ujarnya.
(Baca juga: Pemerintah Tenang Hadapi Isyarat “Lampu Kuning” Trump)
Bagi Indonesia Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama selain Tiongkok, Jepang dan India, namun tidak sebaliknya. Defisit yang dialami AS dalam perdagangan dengan Indonesia terbilang kecil dibandingkan Negara lain.
Dari total defisit neraca dagang AS sebesar US$ 502 miliar pada tahun lalu, sekitar US$ 347 miliar di antaranya berasal dari Tiongkok. Sementara, berdasarkan data Biro Statistik Perdagangan AS, defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia pada 2016 “hanya” sebesar US$13,1 miliar.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyebut, perintah eksekutif Trump sendiri memberi batasan bahwa Negara yang dicap “merugikan” bagi AS adalah yang memberi defisit di atas US$ 20 miliar.
(Baca juga: Sri Mulyani: Proteksi Dagang Trump Bentuk Kemunduran Globalisasi)
Selain itu, perintah eksekutif Trump juga mengindikasikan Negara “curang” semestinya mengalami surplus pada transaksi berjalan (current account defisit/CAD). Sementara, Indonesia justru mengalami defisit transaksi berjalan sebesar 1,8-2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Mirza juga menekankan bahwa Indonesia tidak melakukan manipulasi kurs, dalam arti dengan sengaja melemahkan nilai tukar rupiah sehingga ekspornya menjadi lebih murah untuk masuk ke AS. Intervensi pasar yang dilakukan BI, menurutnya justru untuk membuat rupiah menguat.
"Dari ketiga kriteria itu, Indonesia seharusnya tidak termasuk (pedagang curang)," ujar dia di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (5/4) lalu.
(Baca juga: Tertahan Rp 13.300, BI: Rupiah di Bawah Nilai Fundamental)
Sebelumnya, pada Jumat pekan lalu, Presiden Donald Trump memerintahkan penelusuran terhadap Negara-negara penyebab defisit neraca perdagangan Amerika Serikat (AS), termasuk Indonesia. Dalam perintah eksekutif itu, Kementerian Perdagangan AS diberi waktu selama 90 hari untuk menyusun laporan detail untuk tiap Negara dan tiap komoditas impor yang membuat defisit neraca perdagangan AS.
Pemerintahan Trump mencurigai dua praktik kecurangan: dumping (menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih murah ketimbang di pasar domestik) dan manipulasi mata uang. Jika terbukti, Trump tak segan menerapkan sanksi berupa pengenaan bea masuk tambahan antidumping pada impor komoditas dari Negara terkait.
Indonesia ada pada peringkat ke-15 dalam daftar Negara yang akan diinvestigasi. Sementara di posisi pertama hingga 14 ada Tiongkok, Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia , Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Switzerland dan Taiwan.