Kementerian Perdagangan Beberkan Praktik Curang E-Commerce

KATADATA - Kementerian Perdagangan melihat perkembangan pesat perdagangan melalui situs dalam jaringan atau electronic commerce (e-commerce) juga berdampak negatif bagi konsumen. Selama bulan Februari ini saja misalnya, Kementerian Perdagangan menerima 34 keluhan dari calon pembeli telepon seluler serta produk elektronik lainnya yang melakukan transaksi online.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga Widodo menyatakan mayoritas pengaduan menyangkut wanprestasi penjual terhadap barang yang diperdagangkan. “Tiba-tiba penjual online itu membatalkan secara sepihak,” katanya di Jakarta, Kamis (18/2).
(Baca: Terbuka untuk Asing, Pemerintah Godok Pajak E-Commerce Kakap)
Ia menyebut setidaknya ada lima kecurangan yang ditemui dalam transaksi jual-beli online. Pertama, lamanya waktu pengiriman barang yang tidak sesuai yang dijanjikan. Kedua, barang tidak sesuai ketentuan. Ketiga, barang tidak bisa dikembalikan jika rusak. Keempat, pembatalan penjualan sepihak meski pembayaran sudah dilakukan. Kelima, pengembalian uang yang memakan waktu lama.
Menyikapi persoalan tersebut, Widodo menyarankan para konsumen berbelanja di marketplace karena lebih aman. Namun, marketplace harus bisa menepati yang dijanjikan. Yang dimaksud marketplace adalah model bisnis dengan situs online yang melakukan promosi sekaligus memfasilitasi transaksi. Pemerintah juga mendorong marketplace memberikan pembelajaran kepada masyarakat.
Ia menuturkan, sampai saat ini pemerintah memantau iklan perdagangan online. Contohnya, suatu saat pengawasan terhadap penjualan merkuri. Ternyata penjual tidak menyertakan Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya (SIUP-B2). Padahal, merkuri merupakan bahan berbahaya. “Jika memperdagangkan tanpa izin, ada sanksi pidananya,” ucap Widodo.
Seperti halnya di toko, barang yang dijual secara online juga harus mengantongi Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut dia, ada 118 barang yang harus mengantongi standar tersebut sebelum dijual kepada konsumen.
(Baca: Tekan Biaya Logistik, Pemerintah Persilakan E-commerce Asing Masuk)
Selain SNI, ada ketentuan lain yang harus dipenuhi pedagang e-commerce. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 tahun 2009 mensyaratkan adanya petunjuk penggunaan dalam Bahasa Indonesia pada barang elektronik. Aspek-aspek pengawasan yang dilakukan kementerian antara lain pelayanan purnajual, cara penjualan, pengiklanan, serta perizinan barang.
Widodo mengingatkan, klausul baku “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”, tidak berlaku jika barang cacat dan tidak bisa dioperasikan. Apabila barang yang diterima konsumen rusak dan tidak bisa dipakai, maka penjual wajib memberi ganti rugi berupa barang atau uang.
Ia menjelaskan, pelaku e-commerce yang menjadi obyek pengawasan adalah toko online seperti Lazada, Tiket.com, dan Blibli.com. Selain itu, iklan baris online, termasuk Kaskus dan OLX.co.id, serta marketplace. “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan akan menghadapi hukuman penjara dua tahun dan denda Rp 500 juta,” ujarnya.
(Baca: Menteri Lembong Janji Aturan E-commerce Lindungi Usaha Kecil)
Kementerian Perdagangan memberi tips kepada masyarakat yang ingin berbelanja online. Widodo menyarankan konsumen tidak mengirim uang kepada penjual sebelum barang diterima. Ia menyebut indikasi penipuan selalu ada jika transfer uang dilakukan calon pembeli terlebih dulu. Melalui market place, konsumen dihindarkan dari penipuan karena uang tetap tersimpan sebelum barang sampai ke tangan pembeli.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Srie Agustina menambahkan, demi meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait usaha jual-beli online ini. "Dalam RPP ini mengatur empat pokok. Pelaku usaha yang berdagang dengan sistem elektronik harus memiliki legalitas dan identitas yang jelas, karakteristik barang yang dijual harus jelas, harga dan cara pembayaran pun harus jelas jelas," katanya.
Kementerian Perdagangan juga menjalin bekerjasama dengan Badan Reserse Kriminal Polri untuk memperketat pengawasan terhadap penjualan barang melalui e-commerce. Langkah ini ditempuh menyusul maraknya kasus penipuan, praktik kecurangan dan kelalaian yang dilakukan penyedia situs dan penjual barang.