Indeks Manufaktur Juli Naik ke 46,9, Industri Masih Minim Ekspansi
IHS Markit merilis hasil survei Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia periode Juli 2020. Hasilnya, indeks industri manufaktur Indonesia naik hampir delapan poin ke level 46,9 atau lebih tinggi dibanding periode Juni 2020 yang berada di level 39,1.
Capaian ini merupakan kenaikan tertinggi sejak Februari 2020. Sebab, sejak pandemi corona merebak di Indonesia, indeks manufaktur terus menurun. PMI Manufaktur Indonesia mencapai titik terendah pada April dan Mei 2020 masing-masing sebesar 27,5 dan 28,6.
Kendati meningkat, indeks manufaktur Juli belum menyentuh level 50, yang berarti belum terjadi ekspansi atau industri masih mengalami kontraksi. Sebaliknya, jika indeks telah menyentuh 50 artinya ada kegiatan ekspansi yang terjadi di sektor industri.
Hasil survei Indeks Markit pun menunjukkan, pada Juli 2020 volume produksi industri masih rendah seiring dengan melemahya permintaan akibat pandemi corona. Tak hanya itu, peningkatan output produksi pun masih lambat karena banyak industri yang baru kembali beroperasi setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Indeks output, permintaan, dan ketenagakerjaan mulai meningkat dari posisi terendah yang terlihat pada triwulan kedua, terbantu oleh relaksasi PSBB," kata Kepala Ekonom IHS Markit, Bernard Aw dalam risetnya, Senin (3/8).
Namun, survei juga menunjukkan pemulihan produksi akan terus menantang di masa depan. Banyak perusahaan terus mengurangi lapanga kerja pada tingkat yang tajam, di tengah upaya perusahaan mengendalikan beban.
Utlisasi Industri Manufaktur
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia atau Aprisindo Firman Bakri mengatakan, saat ini pabrik alas kaki sudah banyak yang beroperasi.
Tetapi, beberapa pabrikan hanya mengerjakan sisa order yang dikontrak oleh beberapa merek ternama seperti Nike dan Adidas untuk diekspor. Orderan yang dikerjakan pun hanya tersisa 30%, sedangkan mayoritas lainnya sudah rampung dikirim.
"Ke depan ada potensi permintaan untuk Natal dan tahun baru, untuk itu industri mulai melakukan persiapan mulai dari sekarang atau paling tidak September," kata Firman kepada Katadata.co.id, Senin (3/8).
Menurut dia, kinerja industri padat karya alas kaki masih belum menghadapi ketidakpastian hingga saat ini. Pasalnya, kondisi pasar domestik masih belum sepenuhnya pulih dan banyak pembeli yang telah membatalkan ordernya sejak awal pandemi virus corona merebak di Indonesia.
Sedangkan untuk segmen pasar ekspor, negara-negara dengan pangsa ekspor terbesar seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) mengalami resesi yang diperkirakan akan berdampak pada penurunan permintaan.
Dia pun memperkirakan, permimtaan alas kaki akan semakin terkontraksi jika pemerintah memperpanjang PSBB untuk mengendalikan wabah virus yang masih terus terjadi di Indonesia.
"Perpanjangangan PSBB yang terus-menerus bisa menjadi kontraproduktif dengan stimulus yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat," kata dia.
Kondisi yang lebih baik justru dialami oleh sektor industri tekstil dan produk tekstil. Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menjelaskan, hingga sekarang utilitas produksi industri tekstil telah mencapai 50% yang sebelumnya sempat menurun drastis akibat PSBB.
Hal itu pun akhirnya berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja yang sebelumnya telah dirumahkan. Produksi industri tekstil menurutnya sangat terbantu dengan adanya diversifikasi produksi dengan membuat alat pelindung diri (APD) dan masker.
Alhasil, banyak pabrikan bisa terselamatkan."Utilisasi mulai bergerak membaik walaupun belum penuh, tapi setidaknya pabrik sudah produksi jalan dan mudah-mudahan tidak terpukul lagi dengan adanya PSBB atau impor pakaian jadi," kata dia.
Namun, Rizal memperkirakan pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil diperkirakan tetap masih tetap lesu hingga akhir tahun bila dibandingkan sebelum adanya pandemi. Angkanya tidak jauh berbeda dengan kinerja di semester pertama yang terkontraksi hingga minus 1,24%.
Kondisi ini dipengaruhi oleh lambatnya penyerapan pasar dan daya beli masyarakat yang masih rendah. "Untuk membuka pasar baru sangat susah, karena yang konvensional juga sekarang terpuruk," kata dia.