Realisasi Investasi Pabrik Biodiesel Terhambat Pandemi Corona
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menargetkan tambahan produksi sebesar 3,6 juta kiloliter pada tahun ini. Namun, target tersebut terancam tak tercapai karena investasi pembangunan pabrik baru biodiesel terhambat pandemi corona.
"Terjadi perlambatan karena pabrik yang akan didirikan kesulitan, dengan tenaga ahli yang tidak bisa masuk karena Covid-19," kata Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan dalam webinar sawit, Rabu (12/8).
Selain kendala di dalam negeri, investasi tersebut juga terhambat lantaran para investor tidak bisa berkunjung ke Indonesia selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Meski begitu, ia memastikan investasi tersebut tidak dibatalkan.
Guna mengatasi kendala ini, pihaknya tengah berupaya bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Paulus berharap, pemerintah dapat mempermudah izin pembangunan pabrik, sehingga investasi tersebut bisa terealisasi.
Peningkatan kapasitas produksi tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel yang diperkirakan naik sekitar 3,2 juta kiloliter. Kenaikan itu dipicu oleh adanya program bauran bahan bakar biodiesel 40% (B40) yang dimulai pada tahun depan.
Adapun saat ini, program B40 masih dalam tahap uji jalan oleh pemerintah dan asosiasi terkait.
Aprobi mencatat, saat ini kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini mencapai 11,6 juta kiloliter. Pada 2021, asosiasi menargetkan ada peningkatan kapasitas sebesar 3 juta kiloliter. "Itu sudah komitmen," ujar dia.
Sepanjang semester I 2020, total produksi biodiesel mencapai 4,87 juta kiloliter. Adapun, produksi biodiesel pada Juni 2020 rpoduksinya menurun 5,8% menjadi 645,05 ribu kiloliter dibandingkan Juni 2020 sebesar 685,3 ribu kiloliter.
Sementara itu, total konsumsi biodiesel domestik pada semester I 2020 mencapai 4,1 juta kiloloter. Khusus di bulan Juni, konsumsi biodiesel menurun3,8% menjadi 643,6 ribu dibandingkan Mei sebesar 669,7 ribu.
Ia pun beharap, konsumsi biodiesel akan meningkat secara bertahap sejalan dengan program B30 di masa Covid-19. Hal ini dapat dilakukan dengan penyesuaian dukungan BPDPKS, seperti menaikkan pungutan ekspor.
Kemudian, perlu ada pengurangan rentang harga solar dan harga biodiesel untuk meningkatkan permintaan serta dukungan anggaran pemerintah.
Indonesia merupakan salah satu produsen biodiesel terbesar dunia. Produksi minyak sawit yang berlimpah mendukung produksi bahan bakar diesel yang dicampur dengan minyak nabati (minyak sawit).
Mandatori pemakaian bahan bakar diesel dengan kandungan minyak sawit sebesar 20% (B20) telah mendongkrak permintaan biodiesel di Tanah Air.
Kendati memiliki potensi penyerapan yang besar di dalam negeri, ekspor biodiesel kerap menghadapi kendala dan hambatan dagang.
Salah satu negara yang gencar menjegal produk tersebut yakni Uni Eropa.
Produk biodiesel Indonesia terkena bea masuk anti-subsidi atu countervailing duties (CVD) oleh Benua Biru sejak Agustus 2019.
Alhasil, ekspor biodiesel Indonesia ke Benua Biru menurun drastis sejak terkena hambatan dagang tersebut. "Ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun drastis 99,99%," kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga dalam diskusi sawit, Senin (15/6).
Kemendag mencatat, ekspor biodiesel ke Uni Eropa pada periode Januari-Maret 2019 mencapai 155,1 ribu ton. Sedangkan sepanjang triwulan I 2020, Indonesia sama sekali tak mengekspor biodiesel ke Benua Biru akibat pengenaan CVD tersebut.
Sepanjang tahun lalu, total ekspor biodiesel ke Uni Eropa mencapai 501,9 ribu ton. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan total ekpsor biodiesel ke Uni Eropa pada 2018 sebesar 807,4 ribu ton.
Sebagaimana diketahui, biodiesel Indonesia ke Uni Eropa terkena bea masuk anti-subsidi sebesar 8-18%. Pemerintah pun telah menempuh berbagai cara untuk mengembalikan ekspor, baik melalui forum dengar pendapat hingga menyampaikan submisi dengan Uni Eropa.