PLN: Indonesia Berpeluang Jadi Pemain Hidrogen Global

Andi M. Arief
16 Mei 2024, 16:05
harga hidrogen, hidrogen, PLN
PLN
Ilustrasi. Harga hidrogen lokal yang dinikmati masyarakat dapat mencapai US$ 6,57 per kilogram jika menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU.

Ringkasan

  • Indonesia berpotensi menjadi produsen hidrogen global karena harga hidrogen yang relatif murah jika diproduksi melalui PLTA, sekitar US$4,16 per kilogram.
  • Harga hidrogen lokal lebih murah dibandingkan negara maju (misalnya AS: US$28/kg, Australia: US$8/kg) dan hanya bersaing dengan Cina (US$4/kg).
  • Tantangan utama dalam produksi hidrogen lokal adalah biaya transportasi yang tinggi karena membutuhkan wadah tekanan tinggi untuk memindahkan hidrogen dalam jumlah terbatas.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN Indonesia menyebut, Indonesia dapat menjadi pemain hidrogen secara global. Ini karena harga hidrogen di dalam negeri relatif lebih murah secara global jika diproduksi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA.

Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo memaparkan, harga hidrogen lokal yang dinikmati masyarakat bisa mencapai US$ 6,57 per kilogram jika menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU. Angka tersebut dapat ditekan menjadi US$ 4,16 per kg jika diproduksi dari PLTA.

"Harga hidrogen di Jepang itu US$ 8 per kg, kalau di Korea Selatan senilai US$ 7 per kg. Jadi, kita bisa menjadi pemain hidrogen global, tidak ada masalah mengenai itu," kata Hartanto dalam Investor Trust Future Forum: Potensi Besar dan Masa Depan Mobil Hidrogen, Kamis (16/5).

Hartanto memaparkan, harga hidrogen dari PLTA dan PLTU telah termasuk margin sebesar 10%. Komponen terbesar dalam harga hidrogen tersebut adalah belanja modal atau sebesar US$ 2,65 per kilogram.

Walau demikian, Hartanto menyatakan, hidrogen produksi lokal tetap lebih murah dibandingkan hidrogen di negara maju seperti di Amerika Serikat senilai US$ 28 per kilogram atau Australia senilai US$ 8 per kg. Menurutnya, satu-satunya negara yang bisa menyaingi hidrogen lokal adalah Cina atau senilai US$ 4 per kg.

Hartanto menghitung konsumsi hidrogen jauh lebih efisien dibandingkan solar atau hanya Rp 1.255 per kilometer. Sementara itu, konsumsi Dexlite mencapai Rp 1.592 per km, sedangkan Pertamina Dex mencapai Rp 1.647 per km.

Namun, Hartanto mengakui harga hidrogen tersebut masih terbilang mahal untuk dikonsumsi masyarakat luas. Ia menilai kunci untuk menekan harga hidrogen lebih jauh adalah transportasi.

Adapun pengangkutan hidrogen membutuhkan wadah dengan kapasitas tekanan tinggi. Dengan kata lain, volume hidrogen yang dapat dipindahkan dalam satu waktu terbatas.

Hartanto menyampaikan kapasitas tekanan tabung dalam kendaraan listrik berbahan sel khusus atau FCEV minimal 250 bar. Sebagai perbandingan, kapasitas tekanan tabung LPG adalah 24 bar.

Oleh karena itu, Hartanto mendorong pemerintah untuk mencontoh Belanda dalam adopsi hidrogen secara luas. Menurutnya, Belanda menggunakan dua strategi, yakni insentif pada sektor manufaktur dan pajak karbon.

Hartanto mengatakan pemerintah Belanda menyediakan dana insentif senilai US$ 1 juta setiap tahunnya secara terbuka. Alhasil, pabrikan berlomba-lomba untuk mengadopsi hidrogen sebagai sumber energi agar dapat memanfaatkan insentif tersebut.

"Kedua, kebijakan bottom-up dengan memaksa penggunaan hidrogen melalui implementasi pajak karbon senilai US$ 100 per ton. Supaya transisi energi cepat, contoh saja dari negara tetangga yang suda jalan menggunakan hidrogen," katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan