Pemerintah akan Larang Iklan Pangan Olahan dengan Kadar Gula dan Garam Tinggi
Pemerintah akan membatasi penggunaan gula, garam, dan lemak pada produk pangan olahan yang dihasilkan pabrik, restoran, hingga pedagang kaki lima. Para pengusaha wajib mencantumkan label gizi dan dilarang mengiklankan produk pangan olahan yang memiliki kandungan gula, garam, dan lemak di atas ketentuan.
Poin-poin tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Kesehatan yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024. Pengaturan dilakukan dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, pemerintah pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
"Setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu," demikian tertulis dalam aturan tersebut.
Batas maksimal gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan akan mempertimbangkan kajian risiko maupun standar internasional. Dalam rangka pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak, PP No. 28 Tahun 2024 juga mengizinkan pemerintah mengenakan cukai pada pangan olahan tertentu.
PP No. 28 Tahun 2024 juga mewajibkan pangan olahan impor sesuai dengan batasan gula, garam, dan lemak yang ditentukan pemerintah. Maka dari itu, setiap pangan olahan wajib mencantumkan label gizi yang memaparkan kandungan gula, garam, dan lemak.
Importir yang tidak menaati aturan tersebut akan dilarang melakukan semua jenis promosi pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu. Jika melanggar pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari peringatan tertulis, denda, pencabutan barang, hingga pencabutan izin usaha.
Nasib Cukai Minuman Berpemanis
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika sebelumnya mengatakan, pemerintah memiliki mengambil langkah pengendalian konsumsi gula dengan menerapkan SNI. Pengendalian konsumsi gula menggunakan SNI dari sisi industri, menurut dia, telah diputuskan dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan.
"Kami khawatir cukai MBDK itu tidak seefektif SNI. Kami akan menindaklanjuti regulasi ini dengan penerbitan SNI pengendalian konsumsi gula dari sisi industri kalau sudah ditetapkan," kata Putu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Senin (1/7).
Kementerian Perindustrian memang memiliki sikap berbeda, yakni tak setuju dengan pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK yang ingin diberlakukan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Namun, Putu menekankan visi Kementerian Perindustrian tetap sama, yakni melindungi masyarakat dari penyakit tidak menular.
Kementerian Keuangan sebelumnya mengusulkan, nilai cukai MBDK Rp 1.771 per liter. Angka tersebut didapatkan setelah menghitung rata-rata negara anggota ASEAN yang telah menerapkan cukai MBDK.
Putu menilai, langkah tersebut akan membuat iklim industri buruk lantaran kebijakan cukai umumnya membuat industriwan khawatir. Menurutnya, SNI menjadi strategi yang baik lantaran telah menjadi syarat produksi bagi sektor manufaktur domestik.
Ia berargumen, pihaknya telah berpengalaman dalam mengendalikan bahan pangan melalui SNI, seperti penggunaan fortifikan dalam tepung terigu. Selain itu, Putu menyampaikan pabrikan aturan SNI akan lebih tegas.
Putu mengatakan, SNI memiliki sanksi pidana bagi pabrik yang melanggar, yakni penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp 30 miliar. Putu menekankan penerbitan SNI akan lebih sesuai untuk mengendalikan gula di sektor manufaktur.
"Kalau SNI aturannya jelas karena sesuai dengan konsensus industri dan pemerintah, selain itu sanksinya pidana," katanya.