Dorong Transformasi Industri Tekstil, Pemerintah Perpanjang Pengenaan Bea Masuk
Pemerintah memastikan akan mendukung industri tekstil nasional yang saat ini menghadapi ketatnya persaingan baik di kancah global atau domestik dengan memperpanjang aturan pengenaan bea masuk tambahan.
“Pemerintah mendorong transformasi industri tekstil nasional dengan memanfaatkan rantai pasok global,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (8/8).
Sebagai wujud untuk mendukung daya saing sektor industri tekstil nasional, Febrio mengatakan pemerintah sebelumnya sudah menerbitkan beberapa kebijakan trade remedies yang masih berlaku hingga saat ini.
Kebijakan tersebut yaitu:
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 176/PMK.010/2022 tentang pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor produk Serat Pakaian (Polyester Staple Fiber) yang berlaku selama 5 tahun hingga Desember 2027.
- PMK Nomor 46/PMK.101/2023 tentang pengenaan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) atas impor produk Benang dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial yang berlaku selama 3 tahun hingga Mei 2026.
- PMK Nomor 45/PMK.010/2023 tentang pengenaan BMTP atas impor Tirai, Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur, dan Barang Perabot Lainnya yang berlaku selama 3 tahun hingga Mei 2026.
- PMK Nomor 142/PMK.010/2021 tentang pengenaan BMTP atas impor produk Pakaian dan Aksesori pakaian yang berlaku selama 3 tahun hingga November 2024.
Selain itu, sebagai upaya perlindungan dan peningkatan daya saing industri tekstil dalam negeri, pemerintah melanjutkan kebijakan pengenaan BMTP terhadap impor produk kain, karpet, dan tekstil penutup lainnya selama 3 tahun.
Hal tersebut diatur dalam PMK Nomor 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Kain dan PMK Nomor 49 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Karpet dan Tekstil Penutup Lainnya.
“Penerbitan kebijakan trade remedies untuk industri tekstil tersebut dilakukan dengan memperhatikan keselarasan rantai industri agar sesuai dengan arah pengembangan industri nasional serta dapat menjaga daya saing industri tekstil di dalam negeri,” ujar Febrio.
Dia menuturkan, penyusunan dua PMK tersebut juga melibatkan seluruh pemangku kepentingan yaitu kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian.
Lalu Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Asosiasi dan Pelaku Usaha, serta Perwakilan Negara Mitra Dagang sesuai dengan ketentuan domestik yang sejalan dengan pengaturan trade remedies pada World Trade Organization (WTO).
Melalui sinergi kebijakan pemerintah tersebut, Febrio mengharapkan industri tekstil nasional mampu menjadi industri yang tangguh dan berdaya saing.
“Industri tekstil diharapkan dapat meningkatkan lapangan kerja, serta pada akhirnya memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional,” kata Febrio.
Untuk penciptaan nilai tambah dan daya saing industri tekstil di dalam negeri, dukungan diberikan melalui dukungan kebijakan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, super tax deduction vokasi, dan research and development.
Begitu juga dengan insentif kawasan seperti kawasan ekonomi khusus atau kawasan berikat, maupun kebijakan trade remedies berupa pengenaan BMTP dan BMAD.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, BMTP dan BMAD dikenakan pada suatu produk impor dengan tujuan untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita industri dalam negeri.
Hal itu akibat lonjakan jumlah barang impor atau adanya praktik dumping dari negara pengekspor.
Kepala Center of Industry Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio mengungkapkan data pemutusan hubungan kerja atau PHK yang meningkat per Juni 2024 merupakan sinyal atau tanda bahaya.
“Tentunya kita melihat bahwa capaian tenaga kerja ter PHK pada Januari hingga Juni 2024 ini capaiannya cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Andry dalam diskusi Indef berjudul Industri Tekstil Menjerit, PHK Melejit, Kamis (8/8).
Andry mengatakan diantaranya wilayah PHK terbesar berada di pusat sentra industri. Lalu salah satu diantaranya yang menyumbang cukup besar adalah industri tekstil dan pakaian jadi.
Andry menegaskan, insentif perlu diberikan kepada industri tekstil nasional. “Tidak perlu bicara tax holiday. Harga gas bumi tertentu atau HGBT perlu diberikan khususnya untuk hulu tekstil tanpa adanya kuota tanpa gimmick macam-macam,” ujar Andry.
Selain itu, Andry juga mendorong adanya insentif diskon listrik dan cashback investasi mesin yang perlu diperbesar untuk industri tekstil. Begitu juga dengan pemberian kredit modal kerja yang perlu dipermudah.