Industri Kakao Dibayangi Aturan Deforestasi Uni Eropa, Berlaku Akhir Tahun Ini
Dewan Kakao Indonesia atau Dekaindo menyatakan implementasi regulasi deforestasi Uni Eropa atau EUDR akan memberatkan industri kakao nasional. Biaya pemetaan untuk mematuhi klausul ketelusuran EUDR ditaksir lebih dari Rp 1 triliun.
Ketua Umum Dekaindo Soetanto Abdoellah mencatat, luas kebun kakao yang dipetakan kurang 70.000 hektare. Jumlah tersebut bahkan belum mencapai 5% dari total lahan kakao yang mencapai 1,4 juta hektare.
"Mayoritas atau 98% pasokan pabrik coklat menyerap kakao dari perkebunan rakyat. Dengan demikian, pabrik kakao harus siap dengan data asal-usul bijinya," kata Soetanto kepada Katadata.co.id, Jumat (13/9).
Soetanto menjelaskan, kakao lokal umumnya diolah menjadi barang setengah jadi sebelum di ekspor. Pasar ekspor utama kakao lokal adalah Malaysia, Amerika Serikat, dan negara-negara di Asia.
Oleh karena itu, Soetanto mengatakan pasar Eropa tidak berkaitan langsung dengan industri kakao nasional. Namun, sebagian besar pembeli kakao atau kakao olahan lokal menjual produknya ke Benua Biru. Sementara itu, EUDR mewajibkan ketelusuran semua produk yang dijual di Eropa sampai ke bahan bakunya.
"Oleh karena itu, pengaruh EUDR menjadi cukup besar untuk industri kakao nasional. Pada saat yang sama, kami ada keterbatasan tenaga pemetaan yang kompeten dan minimnya biaya pendataan," ujarnya.
EUDR mulai berlaku pada Desember 2024 dan mewajibkan importir di Eropa membuktikan rantai pasok barang impor. Komoditas yang diawasi EUDR adalah kopi, kakao, daging sapi, kedelai, karet, kayu, dan minyak kelapa sawit.
Adapun jika gagal membuktikan akan didenda hingga 4% dari omset mereka di Uni Eropa. Sejauh ini, Komisi Uni Eropa belum memberikan sinyal penundaan implementasi EUDR.
Badan Pusat Statistik mendata produksi kakao pada tahun lalu mencapai 614.700 ton. Mayoritas berasal produksi kakao berasal dari Pulau Sulawesi atau mencapai 63% dari total produksi.
Total ekspor kakao pada tahun lalu mencapai 340.190 ton atau 55,34% dari total produksi. Negara tujuan ekspor utama kakao tahun lalu adalah Malaysia, Vietnam, Amerika Serikat, India, China, Belanda, dan Australia.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebelunya mengaku berencana menyelesaikan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-Eropa atau Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement ( I-EU CEPA) pada tahun ini. Menurutnya, target tersebut merupakan langkah pemerintah dalam menangkal EUDR.
Zulhas mengatakan, EUDR berpotensi menciptakan hambatan perdagangan dengan aturan kewajiban uji tuntas dan sanksi atas pelanggaran. Menurutnya, pemerintah bakal menempuh langkah agar Uni Eropa mencabut kebijakan tersebut. Salah satunya dengan cara meminta klarifikasi Uni Eropa atas aturan-aturan kebijakan anti deforestasi yang multi interpretasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai EUDR bersifat diskriminatif dan punitif terhadap Indonesia dan Malaysia. Ia mengatakan, penerapan EUDR dapat berdampak pada 15 juta petani sawit di Indonesia dan 700.000 petani sawit di Malaysia.
Airlangga pun mengaku telah menyampaikan kekhawatiran pemerintah terkait penerapan EUDR ke Wakil Presiden Uni Eropa. Secara singkat, pemerintah Indonesia bermasalah terkait standar dan kepatuhan EUDR.
Di sisi lain, Airlangga berencana mendongkrak produksi kakao lokal dengan mengembangkan industri yang melibatkan kebun rakyat untuk memenuhi kebutuhan kakao nasional. Hal ini diperlukan untuk menekan impor bahan baku coklat tersebut.
Airlangga mengatakan 55% kakao yang diolah di Indonesia merupakan impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi kakao di Indonesia mencapai 641,7 ribu ton sepanjang 2023.
“Oleh karena itu, penting untuk replanting daripada kakao agar luasan kakao meningkat dan produksinya bisa dikembalikan, mungkin double,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (11/7).