Mantan Dirjen Pajak Minta Pemerintah Batalkan PPN 12%, Harusnya Kembali Jadi 10%
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo meminta pemerintah tidak hanya mengundur kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12%, tetapi juga membatalkannya. Dirjen Pajak pada 2001 ini menilai, pemerintah memiliki opsi lain untuk tetap mencapai target penerimaan negara.
Ia mengusulkan penertapan sistem monitoring self-assessment untuk mengerek penerimaan pajak. “Sistem monitoring self-assessment untuk menjaga penerimaan negara sekaligus menurunkan tarif PPN kembali ke 10%,” kata Hadi dalam pernyataan tertulisnya dikutip Selasa (3/12).
Alasan Tarif PPN Perlu Dibatalkan
Kenaikan PPN menjadi 12% diamanatkan dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Dalam UU HPP, kenaikan PPN 12% dilakukan paling lambat pada 1 Januari 2025. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Hadi mengungkapkan banyak alasan yang bisa menjadi dasar untuk membatalkan kenaikan PPN tersebut. Menurut Hadi, sebagian besar tenaga kerja Indonesia atau lebih dari 50 juta orang berpendidikan rendah dengan daya beli terbatas sesuai dengan data Badan Pusat Statistik. “Kenaikan tarif PPN akan menambah beban mereka, mengurangi daya beli, dan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi,” kata Hadi.
Berdasarkan data RAPBN 2025, ketergantungan terhadap PPN juga masih menajdi sorotan. Hadi menjelaskan, ketergantungan ini bahkan mencapai 43,2% dari total penerimaan pajak.
"Mengandalkan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi," ujar Hadi.
Hadi menegaskan, kebijakan perpajakan seharusnya bisa melindungi daya beli rakyat kecil. Selain itu, ia menuturkan, pemerintah harus bisa mendorong pemerataan ekonomi.
Cara Membatalkan Kenaikan PPN 12%
Hadi mengungkapkan, pemerintah bisa membatalkan kenaikan PPN 12% dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Hal itu bisa dilakukan agar ketetapan tarif PPN 12% yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan.
“Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena ini kan sudah diatur undang-undang di UU HPP,” kata Hadi.
Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan periode 2009-2014 ini, pemerintah masih memiliki waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut. Meskipun singkat, hadi menilai pemerintah masih bisa menerbitkan perppu karena hanya membutuhkan persetujuan Presiden Prabowo Subianto.
Sistem Monitoring Self-Assessment Sebagai Solusi
Hadi menyebut, korupsi dan penghindaran pajak memiliki karakteristik yang sama, yaitu timbul karena adanya kesempatan. Menurutnya, prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran wajib pajak berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas.
Dalam sistem self-assessment, wajib pajak diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak. Hadi mengusulkan sistem monitoring self-assessment yang seluruh transaksi keuangan dan nonkeuangan wajib pajak harus dilaporkan secara lengkap dan transparan.
“Sehingga pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga alat yang sangat strategis untuk memberantas korupsi dan melunasi semua utang negara,” kata Hadi.
Sistem monitoring self-assessment dirancang untuk menghimpun data dari berbagai sumber yang akan disatukan dengan konsep berbasis link and match. Dengan begitu, negara mampu menguji SPT wajib pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.
Sistem ini dapat memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Selain itu juga meminimalkan kebocoran penerimaan pajak, meningkatkan kepercayaan publik, dan optimalisasi penerimaan negara tanpa menaikkan tarif.
"Dengan pengawasan ini, tarif PPN dapat kembali menjadi 10% tanpa mengurangi penerimaan negara," ujar Hadi.