Kalbe Farma (KLBF) Produksi Dialyzer Tangani Pasien Ginjal di RI
Anak usaha emiten farmasi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), yaitu PT Forsta Kalmedic Global memproduksi alat kesehatan (alkes) dialyzer lokal demi mendukung perawatan pasien ginjal di Indonesia.
Direktur Kalbe Farma Kartika Setiabudy menjelaskan, Dialyzer adalah tabung membran berpori-pori, yang dibuat dari bahan khusus yang memungkinkan cairan tubuh dan limbah metabolisme dari tubuh untuk secara mudah melewatinya, alat ini merupakan fasilitas penting dalam prosedur hemodialisis atau cuci darah.
Emiten farmasi ini telah membangun fasilitas produksi untuk dialyzer dengan merek pertama yang terdaftar, yaitu RenaCare, yang didistribusikan oleh PT Renalmed Tiara Utama.
Kartika mengatakan, Forsta juga menjadi pelopor di Indonesia dan perusahaan kedua di kawasan ASEAN yang memiliki fasilitas produksi dialyzer. Kartika menyebut selain mendorong pengembangan sektor prioritas, inisiatif ini juga berkontribusi pada peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk alat kesehatan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik, termasuk untuk pengadaan pemerintah.
Forsta, melalui fasilitas produksi dialyzer-nya, telah berhasil menempatkan Indonesia di peta industri kesehatan ASEAN.
“Dialyzer juga telah meraih sertifikasi CPAKB [Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik] dari Kementerian Kesehatan,” ujar Kartika dalam keterangan resminya, Rabu (18/12).
Di samping itu, Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat menjelaskan, hemodialisis atau cuci darah, merupakan prosedur rutin yang harus dijalani seumur hidup oleh pasien dengan gagal ginjal kronis tahap 5 atau end stage renal disease.
Pada tahap ini, fungsi ginjal pasien sangat rendah, yaitu di bawah 15%. Proses hemodialisis melibatkan penggunaan mesin dialisis dan dialyzer untuk membersihkan darah yang biasanya dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam seminggu.
“Dokter membuat akses ke pembuluh darah, biasanya melalui operasi minor di lengan, untuk mengalirkan darah ke dalam dialyzer yang berfungsi sebagai ginjal buatan,” tutur Yvone.
Cuci darah Makan Biaya Terbesar Keempat pada Pengeluaran BPJS
Kemudian Yvone mengatakan bahwa 99% pasien hemodialisis di Indonesia telah mendapatkan jaminan dari BPJS Kesehatan. Namun ia menyebut jumlah kebutuhan hemodialisis terus meningkat setiap tahunnya.
Hal itu seiring dengan 1,5 juta orang dari total populasi Indonesia, sebanyak 267 juta yang menderita gagal ginjal kronis, dan sekitar 159.000 di antaranya menjalani cuci darah secara rutin.
Menurut data BPJS Kesehatan, kata Yvone, hemodialisis merupakan tindakan medis dengan biaya terbesar keempat, mencapai Rp 2,9 triliun pada tahun 2023. Yvone juga menekankan 85% pasien cuci darah berada dalam usia produktif, sehingga kegagalan menjaga kualitas hidup mereka dapat memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Hal ini menjadi penting untuk memastikan visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.
Oleh karena itu, ia mengklaim penyediaan dialyzer berkualitas menjadi kebutuhan mendesak. Produksi lokal dialyzer tidak hanya membantu efisiensi penggunaan dana BPJS untuk pelayanan kesehatan pasien gagal ginjal, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri alat kesehatan dalam negeri dan menggerakkan perekonomian nasional.
“Selain itu, dialyzer produksi dalam negeri dapat membantu mempermudah dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia,” ucapnya.
Manfaat Kemandirian Industri Hemodialisa
Hasil produksi lokal Dialyzer RenaCare juga telah memanfaatkan komponen dalam negeri dengan estimasi TKDN melebihi 40%. Yvone mengatakan produksi lokal ini membawa sejumlah manfaat di berbagai sektor.
Di sektor ekonomi, Yvone menyebut kemandirian industri hemodialisis membantu mengurangi ketergantungan pada impor sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Di sektor kesehatan, produksi lokal mendukung ketersediaan alat yang lebih terjangkau dan menjamin efisiensi pasokan alat kesehatan.
Sementara itu, di sektor ketahanan nasional, ia mengatakan keberadaan produksi lokal memperkuat stabilitas pasokan dan memastikan layanan kesehatan tetap berjalan meskipun terjadi krisis global. Produksi lokal dialyzer juga memberikan keuntungan finansial dengan menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman internasional, sehingga harga menjadi lebih terjangkau.
Yvone mengatakan hal ini berdampak langsung pada penurunan biaya perawatan hemodialisis hingga lebih mudah diakses oleh pasien dan fasilitas kesehatan. Selain itu, langkah ini juga mengurangi ketergantungan pada produk impor, sekaligus menjamin keberlanjutan ketersediaan alat medis di dalam negeri.
“Hingga menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” jelas Yvone.