Terpukul Barang Impor, Industri Tekstil Tidak Sanggup Bayar PHK Karyawan

Andi M. Arief
27 Desember 2024, 17:11
PHK karyawan, tekstil, PHK
ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/hp.
Sejumlah pekerja pabrik berjalan di luar area pabrik saat jam istirahat di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan dampak dari wabah virus COVID-19 menyebabkan sebanyak 452.657 orang harus dirumahkan dan di-PHK atau pemutusan hubungan kerja yang terdiri dari pekerja di sektor formal dan informal.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia atau APSyFI mencatat, tujuh perusahaan tekstil gulung tikar sejak 2023 hingga saat ini. Sebanyak 28 pabrik tekstil bahkan telah menghentikan produksi secara total.

Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta mengatakan, perusahaan yang menutup pabriknya masih beroperasi, tetapi dengan kapasitas produksi minimal dan pengurangan jam kerja para buruh. Hal tersebut dipilih lantaran sebagian besar pengusaha tekstil tidak memiliki kemampuan membayar pesangon untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja.

"Para pengusaha tekstil kini mengurangi jam kerja atau hari kerja. Contohnya, hari kerja saat kondisi normal adalah enam hari per minggu, namun kini hanya tiga hari per minggu. Upah tenaga kerja akhirnya bisa disesuaikan," kata Redma kepada Katadata.co.id, Jumat (27/12).

Kondisi tersebut, menurut dia, membuat PT Adetex dan Agungtex Group memilih merumahkan 2.500 tenaga kerjanya dan tidak melakukan PHK. Namun, Redma mencatat, angka PHK yang terjadi di industri tekstil telah lebih dari 18.000 orang.

Ia berargumen,  angka tenaga kerja ter-PHK yang tercatat jauh lebih kecil dari yang seharusnya atau sekitar 250.000 orang. Ini karena angka PHK yang  tercatat merupakan bagian akhir dari langkah PHK yang dilakukan masing-masing PHK.

Redma mencontohkan PT Alenatex yang tercatat menutup pabriknya dan melakukan PHK pada 700 orang. Perusahaan itu telah melakukan PHK terhadap 3.000 tenaga kerja sepanjang tahun lalu.

Sementara itu, tidak semua 28 pabrik tekstil yang menyatakan tutup dan berhenti produksi tidak menyertakan jumlah buruh ter-PHK. Hanya PT Asia Pacific Fibers yang menyertakan data PHK terhadap penutupan pabriknya di Karawang, yakni 2.500 buruh.

Redma memproyeksi sekitar 1,1 juta tenaga kerja di industri tekstil kini terkena PHK atau mendapatkan pengurangan tenaga kerja. Sebab, utilisasi industri tekstil tercatat telah anjlok dari 75% pada akhir tahun lalu menjadi di bawah 50%.

Ia mengatakan, penurunan utilisasi industri tekstil terlihat dari turunnya volume impor kapas dan penghentian beberapa fasilitas produksi pengusaha kain. Menurutnya, kondisi tersebut berakar pada maraknya barang impor di pasar domestik.

Karena itu, Redma menilai insentif terbaru yang diberikan pemerintah pada industri tekstil tidak efektif. Insentif yang dimaksud adalah diskon bunga kredit modal kerja sebesar 5% dengan plafon Rp 500 juta sampai Rp 10 miliar.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendata, anggaran subsidi yang disiapkan mencapai Rp 260 miliar. Adapun target penyaluran kredit akibat insentif tersebut adalah Rp 20 triliun.

"Mana ada perusahaan yang pasarnya diambil barang impor lalu disuruh beli mesin baru? Yang paling penting bagi pengusaha adalah pasar, dan orang-orang di pemerintah ini tidak mau menyelesaikan masalah impor ilegal," katanya.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menuding penyebab utama rontoknya perusahaan tekstil ini adalah penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024.

Immanuel menjelaskan, 60 perusahaan tekstil melakukan Pemutusan Hubungan Kerja pada 13.061 karyawan tetap dan menghentikan perpanjangan kontrak pada 5.000 karyawan. Karena itu, Immanuel menyampaikan salah satu mitigasi yang dilakukan adalah mendorong revisi Permendag No. 8 Tahun 2024.

"Pengusaha dan pekerja tekstil mengatakan ke saya bahwa sumber PHK di industri tekstil adalah Permendag No. 8 Tahun 2024 yang terlalu meringankan impor pakaian jadi," kata Immanuel di kantornya, Senin (23/12).

Berdasarkan catatan Immanuel, setidaknya lima dari 60 perusahaan tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Asia Pacific Fibers Tbk atau POLY, PT Century Textile Industry Tbk atau CNTX, PT Argo Pantes Tbk atau ARGO, PT Ricky Putra Globalindo atau RICY, dan PT Tifico Fiber Indonesia atau TFCO.

CNTX, ARGO, dan RICY telah menghentikan produksi, sedangkan TFCO tidak memperpanjang masa kerja buruh kontrak. Adapun POLY tercatat sebagai perusahaan hulu tekstil dengan dampak paling dalam.

POLY telah menghentikan produksi dan melakukan PHK pada 2.500 orang pada pabriknya di Karawang, Jawa Barat. Mereka juga mengurangi tenaga kerja kontrak pada fasilitas produksi di Kaliwungu, Jawa Timur.

Permendag No. 8 Tahun 2024 adalah beleid tentang kebijakan dan pengaturan impor. Aturan tersebut merupakan revisi keempat tentang peraturan yang sama.


Reporter: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...