Alasan Sri Mulyani Terlambat Rilis Laporan Kinerja APBN Januari 2025

Rahayu Subekti
13 Maret 2025, 12:57
sri mulyani, apbn
Katadata/Fauza Syahputra
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan paparan saat konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi Untuk Kesejahteraan di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).

Ringkasan

  • Laporan APBN Januari 2025 ditunda karena data yang belum stabil. Kementerian Keuangan menunggu data penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara lebih stabil sebelum merilis laporan.
  • Defisit APBN mencapai Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari PDB pada Februari 2025, melebar dari defisit bulan sebelumnya. Pendapatan negara turun 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
  • Penundaan laporan APBN memicu kekhawatiran tentang transparansi Kementerian Keuangan. Kurangnya transparansi dapat mengganggu kepercayaan investor dan berdampak negatif pada ekonomi.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Menteri Keuangan Sri Mulyani absen melaporkan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN Januari 2025. Laporan tersebut seharusnya dirilis pada Februari 2025, tetapi terlambat satu bulan.

"Kami melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor," kata Sri Mulyani dalam konferensi APBN KiTA di Gedung Kemenkeu, Kamis (13/3).

Menurut dia, Kementerian Keuangan mempertimbangkan untuk menunggu hingga data penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara cukup stabil. "Sehingga kami bisa memberikan suatu laporan mengenai pelaksanaan APBN KiTA 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil sehingga tidak terjadi kemungkinan terjadinya salah," ujar Sri Mulyani.

Defisit Makin Lebar

APBN mencatatkan defisit sebesar Rp 23,45 triliun atau 0,10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 31 Januari 2025. Kondisi ini berbeda dibandingkan kinerja APBN pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatatkan surplus Rp 35,12 triliun atau 0,16% terhadap PDB?.

Sementara itu, Kementerian Keuangan juga mencatat defisit APBN pada Februari 2025 yang mencapai Rp 31,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara baru mencapai Rp 316,9 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun dalam dua bulan pertama tahun ini.

Pendapatan negara ini turun 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 400,4 triliun, sedangkan belanja negara turun 7% dari Rp 374,3 triliun.

“Defisit APBN Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus keseimbangan primer Rp 48,1 triliun,” kata Sri Mulyani.

Defisit APBN pada bulan kedua tahun ini melebar dibandingkan posisi bulan sebelumnya atau Januari 2025 yang tercatat mencapai Rp 23,5 triliun atau 0,10% terhadap PDB. Kondisi ini bahkan berbanding terbalik dibandingkan Februari 2024 yang mencatatkan surplus Rp 26 triliun.

Namun, Sri Mulyani memastikan, defisit APBN pada Februari 2025 ini masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53% dari PDB. Adapun keseimbangan primer pada bulan lalu juga turun tajam dibandingkan Februari 2024 yang mencapai Rp 95 triliun.  Keseimbangan primer adalah selisih antara pendapatan negara dengan belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

Ekonom Khawatirkan Transparansi Kemenkeu

Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menyayangkan adanya keterbatasan informasi kinerja APBN ini.

"Padahal selama ini kita tahu Kementerian Keuangan merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang sangat terbuka dalam melakukan atau menyebarluaskan informasi terkait pengelolaan APBN,” kata Rendy kepada Katadata.co.id, Jumat (7/3). 

Menurut dia, Kementerian Keuangan sebaiknya kembali merilis APBN Kita yang merupakan upaya menyebarluaskan informasi dan proses transparansi dari pengelolaan APBN. Transparansi merupakan salah satu pilar utama dalam demokrasi dan wujud suatu institusi dalam menjalankan prinsip tata kelola yang baik. 

“Jadi tentu dengan ada yang transparansi masyarakat kemudian bisa menilai sebuah program ataupun kebijakan yang akan dijalankan oleh sebuah institusi,” kata Yusuf.

Dampak Kurangnya Transparansi terhadap Ekonomi dan Pasar

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengungkapkan, kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN bisa berdampak serius bagi ekonomi nasional.

Hidayat mengatakan, investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal yang dipublikasikan pemerintah untuk menilai kondisi ekonomi suatu negara. 

“Jika laporan APBN Kita terus tertunda, kepercayaan terhadap kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang pada akhirnya dapat memicu berbagai dampak negatif,” kata Hidayat. 

Salah satu dampak utama adalah meningkatnya volatilitas di pasar keuangan. Hidayat mengatakan, investor yang tidak mendapatkan kepastian mengenai kondisi fiskal negara cenderung bersikap lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya. 

“Hal ini bisa menyebabkan aliran modal keluar yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dalam jangka panjang, melemahnya rupiah dapat meningkatkan biaya impor dan memperburuk defisit transaksi berjalan,” ujar Hidayat. 

Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...