Iran Akan Tutup Selat Hormuz, Apa Dampak Bagi Pasokan Minyak dan Ekonomi Dunia?
Parlemen Republik Islam Iran telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran, menyusul serangan Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran. Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia.
"Parlemen telah mencapai kesimpulan bahwa Selat Hormuz harus ditutup," kata Mayor Jenderal Esmaeli Kowsari, anggota Komisi Keamanan Nasional di Parlemen Iran, sebagaimana disiarkan televisi Iran Press TV, Minggu (23/6).
"Keputusan akhir mengenai hal tersebut akan ditetapkan oleh Dewan Keamanan Tertinggi Nasional," kata dia, merujuk pada otoritas keamanan tertinggi di Iran.
Apa Itu Selat Hormuz?
Selat Hormuz merupakan satu-satunya jalur laut untuk masuk ke Teluk Persia. Al-Jazeera menulis, selat ini berbatasan langsung dengan Iran, Oman, dan Uni Emirat Arab, serta menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman, serta Laut Arab di Samudra Hindia.
Selat ini sudah digunakan sebagai jalur lalu lintas ke Teluk Persia sejak abad pertama, tercantum dalam Periplus of the Erythraean Sea. Kala itu, Selat Hormuz belum memiliki nama.
Para ahli berpendapat bahwa nama Hormuz berasal dari sebuah kerajaan ‘Ormus’ yang ada pada abad ke 11-17 masehi. Kerajaan ini terletak di sisi timur Teluk Persia. Dalam bahasa Persia, Ormus berasal dari kata ‘Hur-mogh’ yang artinya pohon kurma.
Seberapa Penting Selat Hormuz?
Menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), sekitar 20% pasokan minyak global melewati jalur ini. Kondisi tersebut menjadikan Hormuz sebagai titik krusial transit minyak terpenting di dunia.
Besarnya porsi pasokan minyak global yang melewati selat ini salah satunya didapatkan dari Arab Saudi. Negara ini diklaim memiliki 16% cadangan total minyak dunia, menjadikan Arab Saudi sebagai salah satu produksi minyak terbesar di dunia.
Adapun Iran merupakan produsen terbesar ketiga di organisasi pengekspor minyak dunia atau OPEC, memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bph) minyak mentah.
Selat Hormuz memiliki panjang sekitar 160-an kilometer dengan lebar 33 kilometer atau 21 mil. Meski sempit, selat ini masih memungkinkan untuk dilalui oleh kapal-kapal besar. Kendati demikian, kondisi ini menjadikan Hormuz sebagai area yang rentan serangan dan ancaman penutupan.
Dikutip dari data world atlas, pada 2011, rata-rata 17 juta barel minyak dikirim keluar dari Teluk Persia melalui selat ini, mewakili 20% dari perdagangan minyak global. Pada 2018, sekitar US$ 1,2 miliar nilai minyak melewati selat ini setiap hari.
Dikutip dari Alarabiya, gangguan apapun yang terjadi di selat ini akan mengirimkan gelombang kejut bagi pasar energi dunia. Hal ini memicu lonjakan tajam harga minyak dan mengganggu kondisi stabilitas Timur Tengah yang rentan konflik.
Berdampak pada Seluruh Ekonomi Global
Menteri Perkapalan Yunani, Vassilis Kikilias, mengingatkan bahwa penutupan Selat Hormuz akan berdampak serius pada ekonomi global.
“Jika Selat Hormuz ditutup akan mempengaruhi seluruh ekonomi global, bukan hanya sektor pelayaran,” ujarnya kepada stasiun TV SKAI, dikutip Senin (23/6).
Kikilias mengatakan bahwa hampir 90% perdagangan global bergantung pada jalur laut. Penutupan selat akan mengganggu rantai pasok global jika selat ditutup dan terjadi pengalihan rute kapal melalui Afrika untuk mencapai tujuan utama di Eropa dan Amerika Serikat.
Kikilias mencatat harga minyak dunia telah naik 7-10% dalam beberapa hari terakhir akibat perang Iran-Israel.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Ibnu Chaldun, Ezza Habsyi, mengingatkan bahwa serangan Amerika Serikat (AS) ke Iran bisa menjadi lonceng perang yang menyulut krisis regional menjadi konflik global, sehingga bukan hanya merupakan eskalasi militer. Ezza mengaku tidak heran jika pasukan Iran bersiaga penuh di Selat Hormuz, jalur vital ekspor minyak dunia.
'Bila jalur tersebut ditutup, dia menilai bukan hanya Tel Aviv yang akan terbakar, melainkan seluruh pasar global akan terguncang oleh lonjakan harga energi, inflasi, dan kepanikan finansial," ujarnya.
Israel melancarkan serangan udara ke sejumlah lokasi di Iran, Jumat (20/6), termasuk fasilitas militer dan nuklir, yang kemudian mendorong Tehran untuk meluncurkan serangan balasan. Amerika Serikat kemudian ikut campur dalam konflik tersebut dengan menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (23/6).
