Pengusaha Hotel Akan Ajukan Uji Materi UU Hak Cipta Akibat Polemik Royalti

Andi M. Arief
14 Agustus 2025, 15:04
Hariyadi Sukamdani
Arief Kamaludin|KATADATA
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI berencana melakukan uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sebab, kebijakan tersebut dinilai menjadi akar polemik penarikan tarif royalti musik yang diputar di restoran dan hotel oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN.

Ketua Umum PHRI, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan uji materi tersebut akan dilakukan bersama beberapa musisi lokal. Menurutnya, pertimbangan uji materi UU Hak Cipta oleh musisi adalah transparansi distribusi dana royalti oleh LMK.

"Polemik tarif royalti musik ini menjadi parah karena LMKN memanfaatkan unsur pidana dalam UU Hak Cipta. Kami sedang pelajari lagi dasar hukum dalam kebijakan tersebut," kata Haryadi kepada Katadata.co.id, Kamis (14/8).

Hariyadi menilai seharusnya LMKN tidak menarik tarif royalti lantaran musisi telah mendapatkan royalti dari platform siaran langsung musik. Menurutnya, sebagian besar hotel dan restoran telah menggunakan platform siaran musik berbayar.

Namun LMKN tidak menerima skema tersebut dan menetapkan setiap hotel dan restoran wajib membayar tarif royalti langsung kepada para musisi. Hariyadi mempertanyakan pertimbangan pemberian tarif pada hotel dan restoran yang tidak mempertimbangkan kondisi perekonomian di daerah.

"Sekarang setiap restoran wajib membayar tarif royalti tahunan senilai Rp 120.000 per kursi. Akan repot restoran-restoran di daerah kalau kebijakan tersebut ditegakkan," katanya.

Di samping itu, Hariyadi mempertanyakan ruang lingkup pengenaan royalti tersebut. Sebab, LMKN masih menetapkan restoran dan hotel untuk membayarkan royalti pada lagu Indonesia Raya yang menjadi domain publik sejak 2009.

Terakhir, Hariyadi menyampaikan sistem blanket dalam tarif royalti membuat distribusi dana ke musisi tidak transparan. Haryadi mengklaim telah memprediksi potensi masalah tarif royalti sejak pembentukan Karya Cipta Indonesia pada 1990.

"Awal penerapan tarif royalti ini memakai sistem selimut atau blanket yang membuat tarif kepada restoran dan hotel otomatis tinggi," katanya.

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa pemutaran rekaman suara burung di ruang publik komersial tetap dapat dikenakan royalti jika terdapat produser rekaman tersebut.

“Dikenakan royalti karena ada pemegang hak terkait karya rekaman suara itu,” ujar Komisioner LMKN, Dedy Kurniadi, usai pelantikan Komisioner LMKN periode 2025–2028 di Jakarta, Jumat (8/8).

Dedy mengakui belakangan sejumlah pelaku usaha mengganti pemutaran musik atau lagu menjadi suara alam atau burung. Menurutnya, perubahan ini sejalan dengan upaya LMKN meningkatkan penarikan royalti demi kesejahteraan pencipta lagu dan pemegang hak terkait.

“Siapa masyarakat Indonesia yang tidak ingin penciptanya sejahtera? Itu kuncinya,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...