Temui DPR, Pedagang Pakaian Bekas Sebut Segmen Pasarnya Beda dengan Produk UMKM
Pedagang pakaian bekas meyakini bahwa mereka memiliki segmen pasar yang berbeda dengan pelaku usaha yang menjual pakaian baru. Sebab, tujuan utama konsumen membeli pakaian bekas adalah harga yang rendah dan preferensi konsumen.
Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Pakaian Bekas Cimol Gedebage Muhammad Elva menjelaskan konsumen pakaian bekas umumnya masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, kemampuan modal menjadi alasan utama pedagang di Pasar Cimol, Bandung menjual pakaian bekas.
"Pasar pakaian baru dan pakaian bekas berbeda karena kami hanya menyasar lapisan masyarakat berpendapatan bawah. Karena itu, pakaian baru yang nantinya kami jual belum tentu dapat dibeli konsumen kami saat ini," kata Elva di Gedung DPR, Selasa (2/12).
Seperti diketahui, Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berencana menyalurkan produk garmen besutan 1.300 UMKM garmen ke pedagang pakaian bekas. Langkah tersebut merupakan salah satu strategi dalam menghabiskan produk pakaian bekas impor di dalam negeri.
Elva mengingatkan pemerintah untuk tidak menyamakan kemampuan konsumen pakaian bekas dan pakaian baru. Karena itu, Elva meminta pemerintah lebih bijak dalam mengelola pasar garmen di dalam negeri.
Ketua Aliansi Pedagang Pakaian Bekas Indonesia WR Rahasdikin mengatakan konsumen pakaian bekas telah sadar saat melakukan transaksi. Sebab, salah satu faktor utama pembelian pakaian bekas adalah harga yang rendah.
Di samping itu, Rahasdikin menyampaikan konsumen pakaian bekas umumnya mengincar produk buatan dalam negeri yang hanya dijual di pasar ekspor. Untuk diketahui, produsen garmen di dalam negeri memproduksi beberapa garmen merek ternama, seperti Nike, Adidas, dan kebutuhan militer NATO.
"Konsumen pakaian bekas umumnya membeli produk bermerek buatan Indonesia yang dikirim ke luar negeri. Contohnya pakaian militer buatan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex untuk militer NATO yang kembali dijual ke dalam negeri. Produk-produk itu yang justru diburu," katanya.
Karena itu, Rahasdikin mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak impor khusus pakaian bekas antara 7,5% sampai 10,5%. Langkah tersebut dinilai penting agar impor pakaian bekas menjadi legal karena diakui negara.
Rahasdikin menilai industri pakaian bekasi harus dijaga lantaran menghidupi 10 juta orang yang terlibat dalam ekosistem industri pakaian bekas impor, seperti dari kuli panggul, buruh jahit, dan buruh setrika. Menurutnya, pemasukan pakaian bekas impor sebagai barang yang dikecualikan dari larangan terbatas impor merupakan jalan keluar permanen.
Dia berargumen pakaian bekas masih dapat diimpor lantaran ada ratusan pos tarif yang rancu dalam PMK No. 10 Tahun 2024. Sebab, pos tarif dalam kebijakan tersebut tidak menjelaskan apakah barang yang diimpor dalam keadaan baru atau bekas.
"Pedagang pakain bekas impor mengajukan pajak impor pakaian bekas agar usaha kami tetap eksis," katanya.
