Lockdown di India yang Berujung Krisis Kemanusiaan
Keputusan melakukan isolasi penuh atau lockdown di India menimbulkan kekacauan baru. Alih-alih mencegah penyebaran virus corona, jutaan orang yang mengandalkan pendapatan harian di sektor informal menjadi korban. Krisis kemanusiaan terjadi di negara tersebut.
Para pekerja migran tak lagi mendapatkan uang. Kebanyakan dari mereka memilih kembali ke kampung halaman. Tanpa dana, mereka berjalan ratusan kilometer untuk mudik.
Himpitan ekonomi membuat mereka tak bisa melaksanakan aturan physical distancing atau menjaga jarak. Banyak dari mereka tetap harus tinggal dalam ruangan sempit dengan yang lain. Tanpa akses kesehatan memadai, kelaparan juga melanda kaum migran di sana.
Di tengah masalah itu, polisi justru bertindak represif kepada mereka. AlJazeera melaporkan satu orang dilaporkan meninggal di negara bagian Benggala Barat. Polisi memukuli korban hingga tewas hanya karena berkeliaran membeli susu selama isolasi diberlakukan.
(Baca: Melihat Praktik Lockdown Corona di Tegal dan Wilayah Lain di Dunia)
Perdana Menteri Narendra Modi memohon maaf kepada warga miskin di negaranya. Ia mengakui keputusannya melakukan isolasi penuh selama 21 hari tidak melalui perencanaan matang. Jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat. Per hari ini, Senin (30/3), melansir dari Worldometers kasus positif virus corona di India mencapai 1.071 orang dan korban meninggal 29 orang.
“Saya minta maaf karena mengambil langkah-langkah keras yang telah menyebabkan kesulitan dalam hidup Anda, terutama orang-orang miskin,” katanya, mengutip dari AlJazeera, kemarin. Namun, menurut dia, tindakan ini diperlukan untuk memenangkan pertempuran melawan Covid-19.
Apa yang Salah dengan Lockdown India?
Aturan lockdown berlaku di India sejak Selasa lalu. Semua penduduk dilarang meninggalkan rumah selama tiga minggu. Semua bisnis yang tidak penting ditutup dan dilarang melakukan pertemuan publik.
Keputusan mendadak ini memicu eksodus besar di kota besar, termasuk Delhi. BBC melaporkan ribuan pekerja migran langsung angkat kaki untuk kembali ke desa asal mereka.
(Baca: Penghasilan Warga Terancam Hilang hingga Rp 72 T jika Jakarta Lockdown)
Kebijakan isolasi ini membuat transportasi publik jumlah terbatas. Banyak pekerja migran memilih berjalan kaki. Satu orang meninggal karena dia berusaha berjalan sejauh 270 kilometer untuk kembali ke rumahnya pada Sabtu lalu.
Para pemimpin oposisi dan sejumlah warga mengkritik keras implementasi lockdown di India. Tanda pagar #ModiMadeDisaster menjadi terpopuler di negara itu melalui media sosial Twitter pada akhir pekan lalu.
"Pemerintah tidak punya rencana kontingensi untuk para eksodus ini," cuit politisi oposisi Rahul Gandhi sambil menyertakan gambar pekerja migran berjalan jauh untuk pulang ke kampung halaman.
Polisi melaporkan empat migran tewas pada Sabtu lalu ketika sebuah truk menabrak mereka di Maharashtra. "Kami akan mati karena berjalan dan kelaparan sebelum terbunuh oleh corona," kata seorang pekerja migran Madhav Raj, 28 tahun.
(Baca: Pemerintah Siapkan Bantuan Agar Pekerja Informal Tak Mudik saat Corona)
Di kota besar kemarahan publik pun meningkat. "Kami tidak punya makanan atau minuman. Saya duduk memikirkan bagaimana memberi makan keluarga saya," kata ibu rumah tangga Amirbee Shaikh Yusuf, 50 tahun, di perkampungan kumuh Dharavi, Mumbai.
Pemerintah telah mengumumkan rencana stimulus ekonomi senlai US$ 22,6 miliar pada Kamis lalu. Di dalamnya akan tersedia bantuan langsung tunai dan pemberian makanan kepada orang miskin India. Sekitar seperempat dari 1,3 miliar penduduk di sana hidup di bawah garis kemiskinan.
Tapi tampaknya bantuan itu saja tidak cukup. Pemenang hadiah Nobel Bidang Ekonomi pada 2019 Abhijit Banerjee dan Esther Duflo mengatakan butuh lebih banyak lagi dana untuk orang miskin. “Tanpa itu, krisis ini akan menjadi bola salju ekonomi,” tulis mereka dalam Indian Express.