Ini Kondisi 7 Negara yang Warganya Ditolak AS

Maria Yuniar Ardhiati
30 Januari 2017, 20:45
Donald Trump
REUTERS/Kevin Lamarque/ANTARA FOTO

Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah pelarangan masuk warga dari tujuh negara ke Amerika Serikat. Larangan ini berlaku selama 90 hari mendatang. Sementara itu, pemerintahan Trump juga membekukan izin bagi para pengungsi selama 120 hari.

Trump menolak masuk warga dari Suriah, Irak, Iran, Yaman, Libya, Somalia, serta Sudan. "Demi melindungi warga, Amerika Serikat harus memastikan semua yang memasuki negara ini tidak berbahaya," kata Trump seperti dikutip CNN, Minggu (29/1). (Baca: Diputus Trump, Anggota Pakta Dagang TPP Pecah Suara)

Ia menerima sejumlah kritikan. Salah satunya dari CEO Facebook, Mark Zuckerberg. “Kita (Amerika Serikat) seharusnya terus membuka pintu untuk para pengungsi dan semua orang yang membutuhkan pertolongan,” ucapnya seperti dirilis CNN, Jumat (27/1).

Zuckerberg pun menjelaskan, jika Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan menolak kehadiran pengungsi beberapa puluh tahun lalu, maka ia tidak mungkin bertemu dengan Priscilla, istrinya, dan keluarganya. (Baca: Kepala BKPM: Investasi Amerika Serikat Lebih Berat di Era Trump)

CEO Twitter Jack Dorsey pun melontarkan kecamannya. “Akan ada dampak nyata atas perintah itu dari sisi kemanusiaan dan perekonomian,” tulis Dorsey dalam akun Twitter-nya, Minggu (29/1).

Dorsey menjelaskan, sebelas persen imigran asal Suriah merupakan pemilik usaha. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari tiga kali jumlah pengusaha kelahiran Amerika Serikat. (Baca: Belasan Langkah Drastis Trump dalam Dua Hari di Gedung Putih)

Berikut ini kondisi masyarakat dari ketujuh negara tersebut, seperti dilansir CNN, Senin (30/1). 

Suriah

Jutaan orang di Suriah saat ini menjadi korban konflik yang telah berlangsung hampir enam tahun. Diperkirakan sebanyak 400 ribu orang menjadi korban jiwa. Mereka yang mengungsi saat ini hidup di bawah ancaman dan berjuang melawan udara dingin. Mereka juga berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan tempat tinggal sementara, dengan persediaan makanan dan pakaian yang sangat terbatas.

Konflik brutal yang terjadi di Suriah telah memicu gelombang pengungsi. Kebanyakan dari mereka memilih untuk pindah ke Eropa. Sebelumnya, pemerintahan Amerika Serikat yang dipimpin Presiden Barack Obama telah mengeluarkan kebijakan untuk menampung 10 ribu pengungsi asal Suriah pada Agustus tahun lalu.

Konflik di Suriah pecah pada 2011, ketika dunia Arab mulai bangkit dan kelompok-kelompok pemberontak yang gagal menggulingkan kekuasaan rezim Presiden Bashar al-Assad. Pada saat itulah, ISIS melihat adanya peluang dengan upaya kelompok militan mengambil alih ibukota Suriah, Raqqa.

Irak

Sejak Amerika Serikat meluncurkan invasi terhadap Irak tahun 2003, Irak berjuang menciptakan stabilitas politiknya. Saat itu pasukan Amerika menahan pemimpin Irak yang dianggap diktator, Saddam Hussein. Ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Irak dan kemudian menjalani hukuman gantung pada 2006.

Amerika Serikat masih menempatkan pasukannya hingga 2011. Sepanjang masa itu, mereka bekerjasama dengan militer Irak di bawah pemerintahan baru untuk membangun pertahanan Irak. Namun, pasukan pertahanan Irak tak mampu mencegah berkembangnya ISIS. Hingga akhirnya pada 2014, sebanyak 1.700 tentara menjadi korban pembunuhan massal di dekat bekas pusat militer Amerika Serikat.

Beberapa tahun kemudian, pasukan Amerika Serikat kembali ke Irak, dengan jumlah yang lebih sedikit. Mereka berniat membantu militer Irak meningkatkan kekuatan militernya. Saat ini, pasukan militer Amerika Serikat memberi dukungan dalam operasi untuk menguasai kota Mosul, yang telah diduduki selama dua tahun oleh ISIS.

Iran

Negara dengan perekonomian yang bergantung pada minyak ini telah mengalami kesulitan selama beberapa dekade terakhir setelah menerima sanksi ekonomi. Akibatnya, jumlah penganggutan di negara ini pun meningkat.

Iran pertama kali menerima sanksi dari Amerika Serikat tahun 1979. Sanksi tersebut dikeluarkan menyusul revolusi Iran serta pengambilalihan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tehran. Selanjutnya, Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa pun memberikan sanksi atas program nuklir Iran.

Iran pun dianggap sebagai bangsa yang tidak memiliki tanah oleh banyak negara Barat. Namun pandangan ini berubah ketika Teheran sepakat untuk membatasi program nuklirnya dengan pemerintahan Obama. Sejak saat itu, investor asing pun mulai mengucurkan dananya ke Iran.

Meski demikian, sejumlah kelompok pegiat HAM masih menilai Iran negara otokratis. Kelompok minoritas, perempuan, dan oposisi dianggap masih merasakan kesulitan untuk hidup di sana.

Yaman

Perang sipil Yaman meletus lebih dari dua tahun lalu. Dunia seakan-akan “melupakan” perang tersebut karena terlalu fokus kepada Suriah, dengan konflik yang memang besar. Padahal, perang kedua negara tersebut memiliki kesamaan. Puluhan sekolah dan rumah sakit, hancur setelah menjadi sasaran bom. Kekacauan politik pun menciptakan kelompok-kelompok militer seperti ISIS.

Berdasarkan laporan UNICEF, ada 1,5 juta anak yang kekurangan gizi di Yaman. Sebanyak 370 ribu anak di antaranya benar-benar dalam kondisi parah.

Konflik di Yaman merebak pada awal 2015, ketika kelompok pemberontak Houthi – kelompok minoritas Syiah dari wilayah utara – mengusir pasukan yang didukung Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Presiden Abdu Rabbu Mansour Hadi. Mereka pun mengambil alih ibukota Yaman, Sanaa.

Krisis yang terjadi dengan cepat meluas menjadi perang, membuat ISIS serta al Qaeda tumbuh semakin besar dan menciptakan kekacauan.

Libya

Lima tahun lalu, Libya merupakan salah satu negara yang paling stabil dan sejahtera di Afrika. Di bawah kepemimpinan Kolonel Muammar Qaddafi selama lebih 40 tahun, sebanyak 6 juta penduduknya menikmati kesejahteraan dari hasil minyak negara tersebut.

Setelah negara-negara Arab bangkit pada 2011, Qaddafi digulingkan dan akhirnya  menjalani eksekusi. Namun. kepergian Qaddafi ini malah menciptakan kekosongan politik. Pemerintahan pun menjadi tidak stabil. Kondisi ini mengundang militan ISIS menancapkan pengaruhnya di Libya, dan menciptakan konflik lainnya dengan Amerika Serikat.

ISIS kemudian menemukan kekuatannya di pesisir kota Sirte – kampung halaman Qaddafi. Sebelumnya Al Qaeda gagal menguasai kota tersebut. ISIS akhirnya menguasai kota tersebut pada Desember lalu. Amerika Serikat pun terus menggempur ISIS sebagai target di negara tersebut.

Awal bulan ini, Amerika Serikat meluncurkan dua bom yang menghancurkan dua markas ISIS di Libya. Berdasarkan laporan para pejabat Amerika Serikat yang disampaikan kepada CNN, diperkirakan sebanyak 80 militan tewas. 

Somalia

Somalia merupakan salah satu negara termiskin dunia. Negara ini mengalami perang sipil setelah pemimpinnya yang merupakan diktator, Siad Barre, diberhentikan pada 1991. Sekarang, dua setengah dekade setelah konflik berlangsung, Bank Dunia melaporkan banyak infrastruktur ekonomi dan institusi yang hancur.

Pada 2012, pemerintahan baru di Somalia terbentuk. Namun, pemerintahan ini menciptakan kelompok-kelompok ekstremis seperti Al-Shabaab. Selama beberapa tahun, kekuatan Al-Shabaab semakin besar. Mereka melancarkan serangan-serangan terhadap pemerintahan dan militer.

Kelompok ekstremis tersebut bahkan merekrut anak-anak untuk masuk dalam pasukannya. Akhirnya, koalisi Uni Afrika berupaya menciptakan perdamaian di negara tersebut. Sampai saat ini, ibukota Somalia, Mogadishu, masih menjadi sasaran serangan. Bahkan, pada Rabu pekan lalu, 21 orang tewas akibat dua serangan di Mogasidhu.

Sudan

Sudan dilanda konflik berkepanjangan, terutama setelah konflik Darfur, yang dimulai sekitar tahun 2003. Ketika itu, sejumlah kelompok pemberontak melakukan perlawanan terhadap pemerintah di Khartoum. Mereka menuntut pemerintah yang dianggap telah melakukan marjinalisasi terhadap tanah dan sejarah. Pemberontakan tersebut masih berlangsung hingga saat ini.

Sebagai balasannya, pemerintah meluncurkan strategi dengan sasaran kelompok-kelompok oposisi serta suku-suku tertentu. Kekerasan ini berujung peperangan. Pada 2008, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan 300 ribu orang tewas dalam konflik Darfur.

Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) menjatuhi Presiden Sudan, Omar al-Bashir hukuman atas kejahatan kemanusiaan, termasuk genosida, yang berkaitan dengan konflik Darfur tahun 2010. Presiden Sudan, Omar al-Bashir, kemudian dijatuhi tuntutan atas kejahatan kemanusiaan.

“Alokasi sumber daya untuk publik serta akses terhadap sumber daya alam yang tidak berimbang, menjadi pemicu utama konflik,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...