Keampuhan Vaksin Pfizer dan Moderna Melawan Omicorn Hanya 30%
Studi terbaru menunjukkan, efektivitas vaksin Covid-19 terhadap infeksi simtomatik dari varian Omicron kemungkinan akan jauh lebih rendah daripada varian Covid-19 sebelumnya. Namun, vaksin kemungkinan besar masih menawarkan perlindungan substansial terhadap penyakit parah
Hal ini termuat berdasarkan analisis terbaru Billy Gardner dan Marm Kilpatrick dari University of California, Santa Cruz. Mereka mengembangkan model komputer yang menggabungkan data kemanjuran vaksin Covid-19 terhadap varian sebelumnya dan data awal pada vaksin Pfizer (PFE.N)/BioNTech melawan Omicron.
Model mereka menunjukkan bahwa awal setelah dua dosis vaksin mRNA dari Pfizer/BioNTech atau Moderna (MRNA.O), kemanjuran terhadap infeksi simtomatik dari Omicron hanya sekitar 30%, turun dari sekitar 87% dibandingkan Delta. Mereka melaporkan pada hari Minggu (12/12) di medRxiv sebelum peer review.
Perlindungan terhadap infeksi simtomatik pada dasarnya hilang untuk individu yang divaksinasi lebih dari empat bulan sebelumnya. “Booster mengembalikan perlindungan hingga sekitar 48% yang mirip dengan perlindungan individu dengan kekebalan yang berkurang terhadap varian Delta sebesar 43%" kata Kilpatrick.
Namun, menurut dia, salah satu yang terpenting adalah perlindungan terhadap penyakit parah jauh lebih tinggi. "Kami memperkirakan bahwa perlindungan terhadap penyakit parah adalah 86% untuk yang baru mendapat vaksinasi mRNA, 67% untuk kekebalan yang mulai berkurang, dan 91% setelah booster dosis ketiga," kata Kilpatrick.
Ia juga menekankan bahwa belum ada perkiraan langsung efektivitas vaksin untuk penyakit parah dari negara mana pun, jadi perkiraan kami belum dapat dibandingkan dengan perkiraan langsung."
Di sisi lain, Vaksin Covid-19 dapat berkontribusi pada pengurangan efek jangka panjang Covi-19. Para peneliti menganalisis tanggapan survei dari 28.356 orang dewasa berusia 18 hingga 69 tahun dari seluruh Inggris yang sebelumnya menderita Covid-19, hampir seperempat di antaranya telah melaporkan gejala yang mengganggu.
Namun, jumlah pasien yang melaporkan terkena gejala jangka panjang Covid-19 sedikitnya hingga tiga bulan berkurang 13% setelah dosis pertama vaksin virus corona diberikan. Meski demikian, belum ada laporan yang jelas apakah ada perbedaan antara dosis pertama dan dosis kedua.
Adapun tingkat antibodi yang baik dari vaksin tidak menjamin pertahanan kekebalan lain untuk beberapa orang. Pada beberapa pasien yang menggunakan obat imunosupresif, vaksin COVID-19 dapat menginduksi antibodi pelindung tanpa menginduksi pertahanan kekebalan lini kedua yang baik, membuat mereka berisiko terkena penyakit parah jika mereka terinfeksi.
Vaksin mengurangi keparahan penyakit dengan menginduksi sel T dalam sistem kekebalan untuk mengenali dan menghilangkan sel yang terinfeksi virus. Pada 303 pasien yang menjalani terapi penekan kekebalan untuk penyakit radang usus, para peneliti menggunakan alat pengukuran molekuler baru untuk menghitung jumlah sel T antivirus yang diinduksi oleh vaksin Covid-19.
"Secara keseluruhan, sejumlah besar pasien yang divaksinasi, sekitar 20%mmemiliki tingkat sel T antivirus minimal, meskipun sebagian besar memiliki antibodi antivirus yang tinggi," kata pemimpin studi Jonathan Braun dari Cedars-Sinai Medical Center di Los Angeles.
Dalam laporan medrivx, usia, jenis kelamin, dan imunoterapi spesifik mungkin terkait dengan respons sel T pasien terhadap vaksin, tetapi intinya adalah bahwa tingkat antibodi setelah vaksinasi tidak selalu memprediksi respons sel T.