Amerika Larang Impor Tekstil dari Tiga Perusahaan Cina Terkait Uighur
Amerika Serikat membatasi impor dari tiga perusahaan asal Cina berlaku mulai Selasa (26/9). Washington menuding tiga perusahaan tekstil tersebut menggunakan proses kerja paksa minoritas Uighur.
Tiga perusahaan itu yakni Xinjiang Tianmian Foundation Textile Co Ltd, Xinjiang Tianshan Wool Textile Co. Ltd dan Xinjiang Zhongtai Group Co. Ltd. Tiga perusahaan ini masuk dalam Daftar Entitas Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur. Hingga kini sebanyak 27 perusahaan masuk dalam daftar tersebut.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS menganggap ketiga perusahaan tersebut menjalankan praktik bisnis yang melibatkan minoritas Uighur dan kelompok teraniaya lainnya.
“Kami tidak menoleransi perusahaan yang menggunakan kerja paksa, yang melanggar hak asasi individu demi mendapatkan keuntungan,” kata Menteri Keamanan Dalam Negeri Alejandro Mayorkas, dikutip dari Reuters, beberapa hari lalu.
Pemerintah Amerika menganggap ketiga perusahaan tersebut bekerja sama dengan pemerintah Xinjiang untuk merekrut dan mengangkut, menampung atau menggunakan kerja paksa warga Uighur, Kazakh, Kyrgyzstan, atau anggota kelompok teraniaya lainnya ke luar wilayah tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina menyebut tuduhan kerja paksa di Xinjiang sebagai “kebohongan abad ini”. Dia menilai tuduhan tersebut bertujuan mendiskreditkan Cina.
“Pada dasarnya, (AS) merusak kemakmuran dan stabilitas Xinjiang, mengekang pembangunan Tiongkok, dan menghancurkan aturan perdagangan internasional dan tatanan pasar,” kata juru bicara Wang Wenbin dalam konferensi pers.
Tiga perusahaan memproduksi barang berbeda. Semua perusahaan tersebut berbasis di Xinjiang.
Xinjiang Tianmian Foundation Textile Co membuat benang dan produk tekstil lainnya. Xinjiang Zhongtai Group Co memproduksi dan menjual polivinil klorida (PVC) dan bahan tekstil, bahan kimia, dan bangunan lainnya. Sedangkan Xinjiang Tianshan Wool Textile Co menjual pakaian kasmir dan wol, serta produk lainnya.
Pada 2022, Xinjiang Zhongtai Group menjadi perusahaan milik negara pertama dari Xinjiang yang masuk dalam daftar 500 perusahaan teratas global versi majalah Fortune, menurut kantor berita negara Xinhua.
Amerika menerbitkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA) pada 2021 yang melarang impor barang yang diproduksi di Xinjiang atau oleh perusahaan yang disebutkan dalam daftar entitas yang tersebut. Kecuali importir dapat membuktikan bahwa barang tersebut tidak diproduksi secara paksa.
Para pejabat AS yakin pihak berwenang Cina mendirikan kamp kerja paksa untuk warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat. Beijing menyangkal tudihan pelanggaran apa pun.
Departemen Luar Negeri pada hari Selasa memberikan peringatan bisnis terkait rantai pasokan Xinjiang. Pebisnis diminta memberikan perhatian pada “genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Xinjiang dan bukti meluasnya penggunaan kerja paksa di sana.”
Laporan ini menekankan pentingnya dunia usaha untuk mengambil langkah-langkah uji tuntas, termasuk mengidentifikasi, menilai dan mengambil tindakan terhadap risiko kerja paksa dan hak asasi manusia bagi pekerja.
Beberapa kelompok dan aktivis Uighur merasa frustasi dengan kecepatan dan kualitas penegakan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur. Senator Marco Rubio, yang membantu memperkenalkan undang-undang tersebut, mendesak pemerintahan Joe Biden untuk menambahkan lebih banyak perusahaan ke dalam daftar.
“Ada potensi ribuan perusahaan dan entitas yang berbasis di Cina terlibat dalam kerja paksa,” kata Rubio dalam sebuah pernyataan. “Lambatnya langkah ini semakin menguatkan mereka yang mengambil keuntungan dari kerja paksa.”