Sejarah Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Tampung Ribuan Warga Palestina
Rumah Sakit Indonesia menjadi harapan satu-satunya warga Palestina di Gaza utara di tengah meningkatnya serangan Israel ke daerah tersebut. Lebih dari 2.000 warga Palestina mengungsi di Rumah Sakit (RS) Indonesia.
"RS Indonesia merupakan rumah sakit terbesar di Gaza utara, sehingga banyak korban luka-luka maupun meninggal dilarikan ke sini," kata Relawan organisasi kemanusiaan MER-C, Fikri Rofiul Haq, dikutip dari Antara, Sabtu (4/11).
Dia mengatakan, RS Indonesia merupakan satu-satunya rumah sakit dengan fasilitas yang cukup memadai di Gaza utara. Namun, RS Indonesia saat ini sedang mengalami krisis energi akibat tidak adanya aliran listrik.
Tempat itu kini hanya mengandalkan dua generator untuk menjalankan kegiatannya. Sayangnya, satu dari dua generator tersebut rusak, sedangkan satu generator yang masih berfungsi terkendala pasokan bahan bakar yang terbatas.
Terbatasnya bahan bakar disebabkan oleh blokade Israel yang membuat pasokannya tidak dapat masuk ke Jalur Gaza.
"RS Indonesia sebenarnya mempunyai panel surya, tetapi itu hanya bisa menyala siang hari dan kekuatan listriknya tidak bisa menghidupkan semua (peralatan rumah sakit), sehingga satu generator itu selalu menyala 24 jam," ucap Fikri.
Setidaknya 1.300 lebih korban jiwa, 60-80 persen di antaranya adalah anak-anak dan perempuan, telah dibawa ke RS itu dan lebih dari 4.000 korban luka-luka saat ini dirawat di sana.
Fikri mengatakan jumlah korban luka-luka yang sangat banyak membuat mereka harus dirawat di lorong-lorong rumah sakit.
Sejarah Rumah Sakit Indonesia di Gaza
Dikutip dari situs resmi MER-C, pembangunan RS Indonesia dimulai sejak 14 Mei 2011. Tanah RS Indonesia seluas 16.261 m2 merupakan wakaf dari Pemerintah Palestina di Gaza.
Sementara dana pembangunan RS sampai saat ini seluruhnya berasal dari donasi rakyat Indonesia melalui organisasi kemanusiaan MER-C. Hal itulah yang menyebabkan rumah sakit ini dinamakan RS Indonesia.
Ide pembangunan rumah sakit ini bermula saat tim medis pemerintah Indonesia dan MER-C menyalurkan bantuan kepada korban serangan Israel di Palestina pada Januari 2009.
Akibat agresi Israel selama 22 hari, jumlah warga Palestina yang tewas tercatat 1.366 orang yang terdiri dari 437 anak-anak, 110 wanita dan 123 lansia. Sementara jumlah cedera tercatat 5.650 orang, data dari Kementerian Kesehatan Palestina.
Setelah menunggu selama dua pekan di perbatasan, Tim MER-C baru berhasil memasuki Jalur Gaza. Ketika itu, wilayah Gaza masih dalam keadaan puncak serangan.
Selama sepekan berada di RS Asy Syifa, tim medis Indonesia masih banyak menemui korban-korban agresi dengan luka berat, bahkan harus kehilangan anggota tubuhnya akibat bom dan rudal Israel yang membabi-buta.
Tim MER-C juga melihat bahwa RS di Gaza kewalahan menampung korban agresi yang begitu banyak. Terlebih lagi wilayah gaza utara yang berbatasan langsung dengan Israel. Sebagai sebuah wilayah perang, Gaza juga hanya memiliki satu RS Rehabilitasi, yang tidak luput dari serangan Israel.
Melihat kebutuhan akan sarana kesehatan serta jumlah donasi dari masyarakat Indonesia yang cukup besar kala itu, Tim MER-C didampingi sejumlah wartawan Indonesia bertemu dengan Menkes palestina, Bassim Naim, di Gaza. Pada kesempatan yang langka tersebut, Tim MER-C menyampaikan rencana pembangunan RS Indonesia di Jalur Gaza.
Rencana ini disambut sangat baik oleh pemerintah Palestina. Pasca penandatanganan MOU, tim kembali ke tanah air dan menyampaikan rencana Pembangunan RSI kepada Menkes Indonesia saat itu, Siti Fadilah Supari.
Perjuangan Relawan Tembus Blokade Gaza
Namun, pembangunan RS Indonesia tersebut menemui sejumlah kendala. Salah satunya karena tim kesulitan mendapatkan izin masuk Gaza.
Setelah setahun menunggu, Tim MER-C kemudian mendapatkan izin masuk Gaza bersama aktivis dari berbagai negara mengikuti Misi Freedom Flotilla (Armada Pembebasan Gaza). Mereka menaiki kapal milik organisasi IHH Turki bernama "Mavi Marmara"pada Mei 2010.
Dalam perjalanan, kapal itu diserang tentara Israel yang menyebabkan sembilan aktivis meninggal dunia dan puluhan luka-luka. Aktivis lain termasuk Tim MER-C ditangkap dan ditahan oleh Israel. Harapan menginjak kaki di tanah Gaza untuk melanjutkan program RSI pun sempat pupus.
Pada Juli 2010, tekanan dunia Internasional yang besar pasca insiden penyerangan "Mavi Marmara" membuat pintu perbatasan menuju Gaza menjadi "agak longgar". Tim MER-C yang terdiri dari dokter, insinyur, dan sejumlah media akhirnya bisa kembali masuk ke Jalur Gaza.
Upaya untuk menembus dan membuka blokade Gaza terus berlanjut. Masyarakat Asia yang tergabung dalam "Asian People's Solidarity for Palestine" melakukan konvoi "Asian Solitary Caravan for Gaza" pada 2 Des 2010 - 6 Jan 2011 yang diikuti 160 aktivis dari 13 negara di Asia.
Hingga akhirnya, pembangunan struktur RS Indonesia dimulai pada Mei 2011 dan selesai setahun kemudian. Mereka kemudian melanjutkan pembangunan tahap dua yang selesai 2014.
Sejumlah selebriti Indonesia juga turut mengkampanyekan penggalangan dana untuk bantuan alat kesehatan RS Indonesia, di antaranya Slank, Wali, Naif hingga White Shoes and The Couples Company.