Hamas Tolak Proposal Gencatan Senjata Israel Tanpa Penghentian Agresi
Hamas telah menolak syarat yang diajukan Israel dalam proposal gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir. Proposal tersebut dinilai tidak memenuhi tuntutan faksi-faksi Palestina untuk menghentikan segala jenis agresi, termasuk rencana serangan Israel ke Rafah.
Namun, mengutip Reuters, Hamas mengatakan bahwa mereka akan mempelajari proposal dari Israel tersebut yang mereka nilai “instransigent” atau tidak ada kompromi, dan akan menyampaikan tanggapannya kepada mediator.
Penolakan ini lantaran Israel masih tetap pada rencananya untuk menginvasi Rafah. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan mengatakan bahwa tanggal untuk invasi ke Rafah, tempat perlindungan terakhir Gaza bagi pengungsi Palestina, sudah ditetapkan.
Israel dan Hamas mengirim tim ke Mesir pada Minggu (7/4) untuk melakukan pembicaraan yang melibatkan mediator Qatar dan Mesir serta Direktur CIA William Burns.
Kehadiran Burn menggarisbawahi meningkatnya tekanan dari sekutu utama Israel, Amerika Serikat, untuk mencapai kesepakatan yang akan membebaskan sandera Israel yang ditahan di Gaza dan memberikan bantuan kepada warga sipil Palestina akibat konflik selama enam bulan.
Namun pejabat senior Hamas Ali Baraka mengatakan, “kami menolak usulan terbaru Israel yang diberitahukan pihak Mesir kepada kami. Politbiro bertemu hari ini dan memutuskan hal ini,” seperti dikutip dari Reuters, Selasa (9/4).
Pejabat Hamas lainnya sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada kemajuan yang dicapai dalam negosiasi tersebut. “Tidak ada perubahan dalam posisi pendudukan (Israel) dan oleh karena itu, tidak ada hal baru dalam perundingan di Kairo,” kata pejabat Hamas, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. “Belum ada kemajuan.”
Israel mengatakan mereka ingin mencapai kesepakatan tawanan-sandera, yang mana mereka akan membebaskan sejumlah warga Palestina yang dipenjara di penjara-penjara mereka sebagai imbalan atas para sandera di Gaza. Namun Israel belum siap untuk mengakhiri serangan militer sebelum mereka menyerbu Rafah.
Hamas menginginkan perjanjian apa pun untuk mengakhiri serangan militer Israel, mengeluarkan pasukan Israel dari Gaza dan memungkinkan para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka di wilayah tersebut.
Rafah adalah tempat perlindungan terakhir bagi warga sipil Palestina yang terpaksa mengungsi akibat pemboman Israel tanpa henti yang meratakan lingkungan tempat tinggal mereka. “Ini juga merupakan benteng pertahanan terakhir yang signifikan bagi unit tempur Hamas,” kata Israel.
Lebih dari satu juta orang berdesakan di kota selatan dalam kondisi putus asa, kekurangan makanan, air dan tempat tinggal. Pemerintah dan organisasi asing telah mendesak Israel agar tidak menyerbu Rafah karena khawatir akan terjadi pertumpahan darah.
“Kami terus berupaya mencapai tujuan kami, yang pertama dan terpenting adalah pembebasan semua sandera kami dan mencapai kemenangan penuh atas Hamas,” kata Netanyahu.
“Kemenangan ini memerlukan masuknya ke Rafah dan penghapusan batalion teroris di sana. Itu akan terjadi, sudah ada tanggalnya,” ujarnya tanpa menyebutkan tanggal spesifik.
Dari 253 orang yang ditangkap Hamas pada 7 Oktober, 133 sandera masih disandera. Para perunding telah berbicara tentang sekitar 40 orang yang akan dibebaskan pada tahap pertama kesepakatan.